Persiapan PON Riau sudah dinodai dengan adanya praktik suap terhadap sejumlah anggota DPRD Riau.
Pagelaran Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII/2012 Riau, yang rencananya
akan resmi dibuka 9 September nanti, diawali dengan insiden rubuhnya
Stadion Tenis di PTPN V Pekanbaru Riau, Kamis (6/9). Peristiwa ini
menambah panjang rapor merah persiapan PON kali ini.
Jauh hari sebelumnya, persiapan PON Riau ini sudah dinodai dengan adanya
praktik suap terhadap sejumlah anggota DPRD Riau terkait pembahasan
Perda Penyelenggaraan PON 2012. Kasus tersebut telah menyeret 13 orang
tersangka, yang terdiri dari anggota DPRD, pejabat Dinas Pemuda dan Olah
Raga (Dispora) Riau, dan rekanan proyek dari pihak swasta.
Praktik Korupsi ini terkuak saat KPK mencokok tujuh anggota DPRD Riau
bersama barang bukti uang suap Rp900 juta pada 3 April lalu. Namun,
hanya dua orang jadi tersangka, yakni M Faizal Azwan (Golkar) dan M.
Dunir (Partai Kebangkitan Bangsa).
Saat itu, Kepala Seksi Pengembangan Sarana Prasarana Dinas Pemuda dan
Olahraga Riau Eka Darma Putra dan Manajer Pemasaran PT Pembangunan
Perumahan Rahmat Syaputra ikut tertangkap dan langsung menjadi tersangka
penyuap.
Sebulan kemudian, giliran Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Riau
Lukman Abbas, dan Wakil Ketua DPRD Taufan Andoso Yakin, menjadi
tersangka. Pada 13 Juli lalu, KPK kembali menetapkan tujuh tersangka
baru dari anggota DPRD Riau, yakni Adrian Ali, Abu Bakar Siddik, Zulfan
Heri, Syarif Hidayat, Tengku Muazza, Mohammad Roem Zein, dan Ruhman A.
Ke-13 orang itu kini sudah menjadi terdakwa dan sudah mulai menjalani
proses persidangan. Dalam proses persidangan nama Gubernur Riau Rusli
Zainal ikut terseret. Ketika sidang terdakwa Eka dan Rahmad, terungkap
peran Rusli yang memerintahkan Lukman menyuap anggota DPRD Riau.
Gubernur Riau itu juga diduga menerima uang sebesar Rp500 juta dari
rekanan proyek. Terungkap juga kucuran dana sebesar Rp 9 miliar kepada
politikus di Senayan. Meski menampik fakta persidangan yang menyebutkan
ikut terlibat, Rusli tetap beberapa kali harus menjalani pemeriksaan di
KPK. Namun, hingga kini status Gubernur Riau itu masih sebagai saksi,
bukan tersangka.
Amunisi Baru KPK
Ambruknya atap Stadion Tenis yang akan dipakai dalam PON kali ini,
kembali mengingatkan akan karut-marut pembangunan venue dan dugaan
korupsi dalam proses pembangunannya. Tak heran, Indonesian Corruption
Watch (ICW) menilai insiden ini bisa menjadi amunisi baru bagi KPK untuk
menindaklanjuti kasus korupsi PON Riau.
“Kejadian ini bisa jadi momentum, khususnya bidang olahraga.
Kenyataannya, olahraga tidak bersih juga dari tindak korupsi. Hal ini
bisa jadi ladang, semut-semut senang ada aliran uang di dalamnya,” kata
Koordinator Divisi Investigasi dan Publikasi ICW Agus Sunaryanto, Jumat
(7/9).
ICW juga berharap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) turun tangan memperkuat data dan
mendukung penyidikan KPK dalam pengembangan Kasus Suap PON tersebut.
“Yang perlu dilakukan sekarang adalah pembangunan dicek mungkin ada
penurunan kualitas atau under quality dari bahan yang digunakan,” imbuh
Agus.
Menurut Agus, pelaksana proyek bisa menjadikan ambruknya kanopi venue
tenis sebagai sampel kasus dan mempertanggungjawabkan bangunan lainnya.
"Bangunan lain yang mungkin bisa berpotensi rusak atau belum layak
pakai,” ujarnya.
Untuk ke depannya, ICW berharap setiap pembangunan gedung dapat diatur
soal masa garansi dan perawatan, sehingga masalah atau perawatan gedung
setelah dibangun dapat terus dijaga. “Dua tahun lagi, 4 tahun lagi, 20
tahun lagi semoga bisa terasa. Minimnya efek jera pada kasus korupsi,
baik dari proses penyelidikan maupun yang ditangani kepolisian dan
kejaksaan agung, harus bisa diperkuat setelah kejadian ini,” tandas
Agus.
Kegiatan PON merupakan ajang olahraga yang seharusnya dapat mengangkat
nama-nama atlet nasional. Olahraga sendiri memegang kuat prinsip
keadilan dan kejujuran. Sangatlah miris jikalau ajang yang penuh
sportivitas ini ke depannya tetap saja dinodai pratik-praktik korupsi.
Sidang lanjutan dugaan suap revisi Perda No 06 Tahun 2009 dengan dua
terdakwa anggota DPRD Riau M Dunir dan Faisal Aswan, Kamis (6/9/2012)
kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan
Negeri (PN) Pekanbaru dengan agenda masih mendengarkan keterangan
saksi.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Ketua Krosbin Lumban Gaol
SH itu Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menghadirkan 4 orang saksi yakni terdakwa Rahmat Syahputra, Sandi,
Dasril dan Kabid Sarana dan Prasarana Dispora Riau Zulkifli Rahman.
Saksi pertama yang memberikan keterangannya adalah Rahmat Syahputra.
Kepada Majelis Hakim terdakwa Rahmat mengaku uang Rp 900 juta yang akan
diberikan ke anggota DPRD Riau itu adalah cuma-cuma dan tidak pinjaman.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengembangkan penyidikan suap
revisi peraturan daerah (Perda) 6/2010 terkait venue menembak pada PON
ke-18 di Riau. Meski penyidikan tersebut belum tuntas, kini lembaga
superbody itu mengembangkan kasus pada dugaan korupsi proses
pengadaannya.
Venue yang penyelidikannya tengah dilakukan KPK,
baru untuk main stadium PON, di komplek Universitas Riau (UR), dengan
nilai anggaran mencapai Rp1,1 triliun.
Namun, venue lain yang diduga bermasalah juga akan diusut KPK jika ditemukan data yang mendukung.
"Tergantung informasi, apakah ada data yang mendukung atau tidak. Saat
ini perkembangan kasus ini sedang dilakukan penyelidikan terhadap
pengadaan main stadium. Sudah dilakukan permintaan keterangan pada
sejumlah pihak, seperti panitia pengadaan," kata Juru Bicara KPK, Johan
Budi di kantornya, Jakarta, Senin (3/9/2012)
Dari 54 venue yang disiapkan untuk pertandingan seluruh cabor PON, ada 7 yang sempat terkendala pembangunannya.
Setelah dicarikan solusi, masih ada dua venue yang hingga kini belum
selesai dibagun. Di antaranya, venue menembak di Pekanbaru dan futsal di
Tembilahan, Indragiri Hilir, Riau.
Venue menembak mulanya
dianggarkan Rp42 miliar. Kemudian diusulkan revisi Perdanya untuk
penambahan anggaran menjadi Rp62 miliar.
Saat revisi Perda
akan disahkan DPRD, KPK melakukan tangkap tangan terhadap anggota DPRD
Riau, M Faisal Aswan, pegawai Dispora Eka Dharma Putra dan Manajer
Keuangan PT Pembangunan Perumahan (PP) Persero, Rahmat Syahputra.
Kemudian untuk venue futsal di Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir
(Inhil), dibangun dengan anggaran Rp79 miliar menggunakan dana sharing
APBD Riau dan APBD Inhil. Awalnya sempat terkendala karena DPRD Inhil
mempersoalkan besarnya anggaran yang diusulkan, terutama sharing yang
harus ditanggung Pemda Inhil.
Kendala itu juga menjadi penyebab
terjadinya keterlambatan pembangunannya. Bahkan target terakhir dua
venue itu baru selesai tanggal 5 September 2012 nanti.
Saat ditanyakan apakah dua venue ini sudah diselidiki KPK, Johan mengatakan belum dilakukan.
"Pengembangan Perda 6 tahun 2010 ini ke penyilidikan pengadaan main stadium. Venue menembak dan futsal belum," tegas Johan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar