Minggu, 24 Agustus 2014

SOSIOLOGI: PEMIKIRAN 7 TOKOH KLASIK SOSIOLOGI !!!

 1.    Pemikiran Sosiologis Auguste Comte
Auguste Comte dilihat oleh banyak orang sebagai bapak sosiologi, yang percaya bahwa sifat dasar suatu organisasi sosial suatu masyarakat sangat tergantung pada pola-pola berfikir yang dominan serta gaya intelektual masyarakat itu; dalam perspektif Comte, struktur sosial sangat mencerminkan epistemology yang dominan. Sejalan dengan posisi ini, comte juga percaya bahwa begitu intelek kita bertumbuh dan pengetahuan kita kian bertambah, masyarakat itu sendiri maju (atau kemampuannya untuk maju bertambah). Pada tahun 1817 ia menjadi sekretaris Claude Henri Saint-Simon, seorang filsuf yang empat puluh tahun lebih tua dari Comte. Mereka bekerja sama selama beberapa tahun dan Comte mengakui besarnya utang pada Saint-Simon. Namun pada tahun1824 mereka bertengkar karena Comte yakin bahwa Saint-Simon ingin menghapuskan nama Comte dari daftar ucapan terima kasihnya. Kemudian Comte menulis bahwa hubungannya dengan Saint-Simon “mengerikan” sebagai “penipu hina” Pada tahun 1852, Comte berkata tentang Saint-Simon, “aku tidak berhutang apapun pada orang ini”. semasa muda Comte bergaul dengan gadis-gadis juga mendatangkan relevansi untuk memahami evolusi dalam pemikiran Comte, khususnya perubahan dalam tekanan tahap-tahap akhir kehidupannya dari positivisme ke cinta. Pada tahun 1826 Comte menderita gangguan jiwa, dan pada tahun 1827 ia pernah mencoba bunuh diri (meski gagal) dengan melemparkan dirinnya ke sungai Seine. Setelah peristiwa itu, comte berpisah dengan istrinya dan mengajar di Ecole Polytechnique. Selama kurun waktu tersebut, Comte mengerjakan enam jilid karya yang melambungkan namanya. Cours de Philosophie Positive. Dalam karya ini Comte memaparkan pandangannya bahwa sosiologis adalah ilmu tertinggi. Ia juga menyerang Ecole Polytechnique dan hasilnya adalah pada tahun 1844 pekerjaanya sebagai asisten tidak diperpanjang.tahun 1851 ia menyelesaikan empat jilid buku Systeme de Politique Positive, yang lebih bertujuan praktis, dan menawarkan rencana reorganisasi masyarakat.

Setelah menyelesaikan enam jilid Course de Philosophie Positive, Comte bertemu dengan Clothilde de Vaux, seorang ibu yang mengubah kehidupan Comte. Clothilde menerima Comte menjadi pasangannya, karena Clothilde terdesak atas keprihatinan gangguan mental yang dialami oleh Comte. Namun romantika ini tidak berlangsung lama karena Clothilde mengidap penyakit TBC yang kemudian mengakibatkan Clothilde meninggal. Kehidupan Comte lalu tergoncang, dan dia bersumpah untuk membaktikan hidupnya untuk mengenang “bidadari”-nya itu dengan mengusulkan suatu reorganisasi masyarakat dengan sejumlah tata cara yang dirancang untuk membangkitkan cinta murni dan egoistis demi “kebesaran kemanusiaan”. Tujuannya adalah untuk mengembangkan suatu agama baru yaitu agama Humanitas yang merupakan sumber-sumber utama bagi perasaan-perasaan manusia serta mengubahnya dari cinta diri dan egoisme menjadi altruisme dan cinta tetapi sekaligus tidak membenarkan secra intelektual ajaran-ajaran agama tradisional yang bersifat supernaturalistik.
Pokok Pikiran Filsafat Potisivisme Auguste Comte
Comte sangat terusik oleh anarki yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat Prancis dan bersikat kritis terhadap pemikir yang menumbuhkembangkan pencerahan dan revolusi ia mengembangkan pandangan ilmiahnya, “positivisme” atau “filsafat positif”, untuk menyerang apa yang dipandangnya filsafat negative dan destruktif dari pencerahan. Comte sejalan, dan dipengaruhi oleh pemikir khatolik kontrarevolusi Prancis (khususnya de Bonald dan de Maistre). Namun, karyanya dapat dibedakan dari pandangan kedua orang tersebut paling tidak karena dua alasan. Pertama, menurut pendapatnya, tidak mungkin kembali lagi ke zaman pertengahan; kecanggihan ilmu pengetahuan dan industry menjadikannya mustahil. Kedua, ia mengembangkan sistem teoritis yang jauh lebih canggih daripada pendahulunya, sebuah sistem teoritis yang cukup untuk membangun sosiologi awal. Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat ilmiah ini sebagai puncak suatu proses kemajuan intelektual yang logis melalui mana semua ilmu-ilmu lain sudah melewatinya. Kemajuan ini mencakup perkembangan dari bentuk pemkiran teologis, metafisis yang pada akhirnya samapi terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang positif. pada Tahap pertama dinamakan tahap teologis atau fiktif, yaitu suatu tahap dimana manusia menafsirkan gejala-gejala disekelilingnya secara teologis, yaitu dengan keuatan-kekuatan yang dikendalikan roh dewa-dewa atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Selanjutnya pada tahap metafisik manusia menganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Tahap selanjutnya adalah tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Perubahan dari satu tahap ke tahap yang berikutnya tidak pernah terjadi secara tiba-tiba, sehingga memperlihatkan suatu garis pemisah yang jelas dengan yang sebelumnya, serta memperlihatkan suatu awal tahap yang baru.
Gagasan comte selanjutnya adalah Statistika dan Dinamika Sosial, yaitu dengan statika sosial dimaksudkan agar semua unsur struktural yang melandasi dan menunjang orde, tertib, dan kestabilan masyarakat seperti sistem perundangan, struktur organisasi, dan nilai-nilai seperti keyakinan, kaidah dan kewajiban yang semuanya memberi bentuk yang konkret dan mantap kepada kehidupan bersama. Statika sosioal itu disepakati oleh anggota dan karena itu disebut dengan volonte general (kemauan umum). Mereka mengungkapkan hasrat kodrati manusia akan persatuan, perdamaian, dan kestabila atau keseimbangan. Tanpa unsur-unsur struktural ini kehidupan bersama tidak dapat berjalan. Pertengkaran dan perpecahan mengenai hal-hal yang dasar, sehingga suatu kesesuaian paham tidak tercapai, menghancurkan masyarakat. Dinamika sosial adalah daya gerak sejarah yang pada setiap tahap evolusi mendorong kearah tercapainya keseimbangan baru yang setingkat dengan kondisi dan keadaan zaman.
Gagasan comte selanjutnya adalah Agama Humanitas, desakan untuk mendirikan agama positif terutama karena mengingat runtuhnya tatanan sosial tradisional yang sebelumnya sudah memuncak dalam Revolusi Perancis, dan Comte khawatir kalau mengarah ke anarki. Comte menarik kesimpulan, bahwa pengintegrasian kembali masyarakat atas dasar prinsip-psrinsip positivisme hanya mungkin dilaksanakan melalui agama gaya baru, yaitu agama sekuler dengan lambangnya, upacaranya, hari-hari raya, dan orang-orang “Kudus”-nya. Hanya agama yang akan mampu menyemangati baik akal budi maupun perasaan dan kemauan. Oleh karena itulah, Comte dalam masa tuanya mendirikan agama baru itu. Yang disembah sebagai Yang Maha Tinggi bukan Tuhan, melainkan humanitas atau kemanusiaan. Clothilde di anggap sebagai pengganti Bunda Maria, sosok yang diagungkan Comte sebagai penghormatannya kepada kaum wanita. Karena hal inilah, Comte sempat ditinggalkan oleh para pengikut positivis karena dianggap melenceng dari pernyataan – pernyataan sebelumnya.



2.    Pemikiran Sosiologis Emile Durkheim
Emile Dhurkheim lahir pada tanggal 15 April 1858 di Epinal, provinsi Lorraine di perancis Timur. Durkheim dibesarkan dalam keluarga komunitas Yahudi ortodoks, namun pada penitian karirnya beliau lebih condong pada bidang intelektualnya dari pada bidang religious. Ia tidak hanya kecewa dengan ajaran agama, namun ada pendidikan umum dan penekanannya pada soal-soal literer dan estetis. Dia mendabakan bisa mempelajari metode-metode ilmiah dan prinsip-prinsip moral yang bisa memandu kehidupan sosial. Hasratnya terhadap ilmu  pengetahuan semakin bertambah ketika ia melakukan perjalanan ke Jerman, disana ia mulai mengenal psikologi ilmiah. Setelah perjalanannya ke Jerman ia mulai menerbitkan karyanya yang menggambarkan pengalamannya di Jerman. Publikasi inilah yang membuatnya memperoleh posisi di departemen filsafat di Universitas Bordeauk pada 1887. Pada tahun 1893 Durkhrim mulai menerbitkan tesis doktoralnya dalam bahasa Prancis yang berjudul The Division of Labor in Society dan tesisnya dalam bahasa latin tentang Montesqueiu.selain itu juga mengeluarkan pernyataan metodologis dalam The Rules of Sociological Mehtode yang terbit pada tahun 1895 kemudian diikuti dengan penerapan metode-metodenya dalam studi empiris pada buku Suicide. Pada tahun 1896 ia menjadi profesor di Bordeaux kemudian pada tahun 1902, ia diundang oleh Universitan Sorbone dan pada tahun 1906 menjadi profesor resmi untuk ilmu pendidikan. Pada tahun 1913 jabatannya menjadi profesor ilmu pendidikan dan sosiologi. Karyanya yang terkenal diantaranya adalah The Elementary Forms of Religious Life yang terbit pada 1912.
Dalam perjalanan hidupnya Durkheim dianggap sebagai orang yang liberal, ini tercermin ketika ia secara aktif berperan dalam membela Alfred Dreyfus, kapten keturunan Yahudi yang difonis mati karena penghinaan terhadap Tuhan yang dirasakan banyak orang sebagai antisemit. Inilah mengapa ia mulai keluar dari agama karena melihat fenomena tersebut. Jadi, minat Durkheim pada kasus Dreyfus lahir dari minatnya yang begitu dalam terhadap moralitas dan krisis moral yang dihadapi masyarakat modern. Minat Durkheim pada sosialisme juga dijadikan bukti untuk melawan gagasan bahwa ia adalah seorang konservatif namun sosialisme ini berbeda dengan yang menjadi minat Marx dan pengikutnya. Durkheim menganggap marxisme sebagai serangkaian hipotesis yang dapat diperdebatkan dan ketinggalan zaman. bagi Durkheim sosialisme menunjukkan suatu gerakan yang ditujukan bagi regenerasi moral masyarakat melalui moralitas ilmiah. Durkheim memberi perkembangan yang besar bagi sosiologi dan bagi bidang lainnya seperti antropologi, sejarah, linguistik, dan psikologi sebagaimana yang tercantum dalam jurnal  L’annee Sociologique. Durkheim meninggal pada tanggal 15 Nopember 1917 sebagai sosok yang disegani oleh kalangan intelektual Prancis ketika dua puluh tahun kemudian Talcot Parsonsn menerbitkan buku yang berjudul The Structure of Social Action (karya Durkheim).
Teori Emile Dhurkheim Dalam Konsep Pembagian Kerja Pembagian kerja menurut Emile Durkheim adalah untuk menciptakan kehidupan sosial yang terintegratif dan tidak slalu tergantung pada homogenitas. Adanya konsep tersebut menyoroti masyarakat tradisional yang kebayakan pekerjaannya dilakukan oleh satu individu. Misalnya untuk menanam padi, petani mengolah tanah, menanam benih padi, memanen, menjemur gabah, menumbuk gabah menjadi beras, bahkan menjualnya dilakukannya sendiri. Karakteristik pembagian kerja hanya pada jenis kelamin. Seorang  perempuan jenis pekerjaan yang dilakukan berbeda dengan laki-laki. Pada masyarakat tradisional tersebut kesadaran kolektif tinggi, rasa kekeluargaan erat. Hukum yang berlaku sangat kaku dan bersifat memaksa (solidaritas mekanik). Bagi Durkheim, dengan pemabagian kerja maka mampu meningkat solidaritas masyarakat yang akhirnya menciptakan sebuah integrasi dalam heterogenitas. Misalnya, menanam padi ada yang dipekerjakan untuk mengolah tanah, menanam benih padi, memanen, dsb. Proses tersebut harapannya tingkat keterkaitan antar satu individu dengan individu yang lain lebih erat (ketergantungan yang menciptakan integrasi, solidaritas kuat). Namun, pada masyarakat modern yang mempuyai pembagian kerja tinggi ternyata menampilkan individualitas tinggi, hukum restitutif, ketergantungan yang tinggi mengacu pada konflik, kesadaran kolektif lemah, bersifat industrial perkotaan (solidaritas organik).
Pembagian kerja menrut Durkheim adalah fakta sosial material karena merupakan bagian dari interaksi dalam dunia social. Dalam “Division of Labour” Durkheim menggunakan ide patologis untuk mengkritik bentuk “ abnormal” yang ada dalam pembagian kerja masyarakat modern. Pembagian kerja tersebut adalah: a) Pembagian kerja anomik, yaitu tidak adanya regulasi dalam masyarakat yang menghargai individualitas yang terisolasi dan tidak mau memberi tahu masyarakat tentang apa yang harus mereka kerjakan. b) Pembagian kerja yang dipaksakan, yaitu aturan yang dapat menimbulkan konflik dan isolasi serta yang akan meningkatkan anomi. Hal ini menunjuk pada norma yang ketinggalan zaman dan harapan-harapan individu, kelompok, dan kelas masuk ke dalam posisi yang tidak sesuai bagi mereka.
c) Pembagian kerja yang terkoordinasi dengan buruk, disini Durkheim kembali menyatakan bahwa solidaritas organis berasal dari saling ketergantungan antarmereka.
Solidaritas sosial menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dan/atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan  kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Analisa Durkheim mengenai solidaritas sosial dasajikan menurut: a) perbedaan-perbedaan dalam tipe solidaritas sosial, b) ancaman-ancaman terhadap solidaritas dan tanggapan masyarakat terhadap ancaman ini, c) munculnya penegasan atau penguatan solidaritas lewat ritus-ritus agama.
Solidaritas Mekanaik dan Organis. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu keadaan kolektif, yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan  sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada suatu masyarakat yang sama. Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanik adalah solidaritas tersebut didasarkan atas homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dsb. Homogenitas tersebut bisa terjadi apabila pembegian kerja sangat minim. Sedangkan Solidaritas organik muncul akibat adanya pembagian kerja yang tinggi yang didasarkan atas rasa saling ketergantungan. Munculnya perbedaan-perbedaan di tingkat individu merombak adanya kesadaran kolektif yang dirasa kurang penting sebagai dasar keteraturan sosial terganti oleh spesialisasi kerja yang lebih otonom. Durkheim mengatakan bahwa kuatnya solidaritas organis didasarkan pada hukum yang bersifat memulihkan (restitutive) daripada hukum represif.
Teori Durkheim berikutnya adalah Fakta Sosial (The Rule Of Sociological Method) menyatakan bahwa pokok bahasan sosiologi haruslah berupa studi atau fakta sosial. Secara singkat, fakta sosial terdiri dari struktur sosial, norma budaya, dan nilai yang berada di luar dan memaksa sektor.  Durkheim menyatakan bahwa “fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual.”
Durkeim juga mendefinisikan fakta sosial/gejala sosial seperti sebuah benda artinya gejala sosial adalah riil secara obyektif, dengan satu eksistensi yang terlepas dari gejala biologis atau psikologis individu. Durkheim juga menambahkan bahwa fakta social itu tidak dapat direduksikan ke fakta individu melainkan memiliki eksistensi yang independen pada tingkat social. Pemikiran ini dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya, dimana Durkheim hidup di bawah pengaruh positivisme, ilmu dilihat sebagai suatu yang berhubungan dengan gejala yang riil (factual). Tanpa obyek riil sebagai pokok permasalahannya, suatu ilmu tentang masyarakat tidaklah mungkin ada. Dalam karir awal Durkheim (The Rules of Sociological Method) dijelaskan bahwa gejala social itu adalah benda. Artinya, gejala social adalah riil secara obyektif dengan satu eksistensi yang terlepas dari gejala biologis atau psikologis individu. Durkheim sendiri memberikan beberapa contoh tentang fakta sosial, termasuk aturan legal, beban moral, dan kesepakatan sosial. Dia juga memasukkan bahasa sebagai fakta sosial dan menjadikannya sebagai contoh yang paling mudah dipahami, karena bahasa adalah sesuatu yang mesti dipelajari secara empiris, bahasa adalah sesuatu yang berada di luar individu, bahasa memaksa individu, dan perubahan dalam bahasa hanya bisa dipelajari melalui fakta sosial lain tidak bisa hanya dengan keinginan individu saja.
Fakta social juga dibagi atas beberapa tipe, yakni : Fakta Sosial Material dan Nonmaterial. Durkheim membedakan dua tipe ranah fakta sosial, yaitu material dan nonmaterial. Fakta sosial material, seperti gaya arsitektur, bentuk teknologi, dan hukum dan perundang-undangan, relatif mudah dipahami karena keduanya bisa diamati secara langsung. Fakta sosial material seringkali mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuat yang sama-sama berada di luar individu dan memaksa mereka. Kekuatan moral inilah yang disebut dengan fakta sosial nonmaterial.Studi Durkheim yang paling penting, dan inti dari sosiologinya, terletak dalam studi fakta sosial nonmaterial ini. Durkheim mengungkapkan: “Tidak semua kesadaran sosial mencapai eksternalisasi dan materialisasi”. Apa yang saat ini disebut norma dan nilai, atau budaya oleh sosiolog secara umum adalah contoh yang tepat untuk fakta sosial nonmaterial. Sedangkan berdasarkan jenisnya, fakta social non material dibagi atas ;
a.    Moralitas
Perspektif Durkheim tentang moralitas terdiri dari dua aspek. Pertama, Durkheim yakin bahwa moralitas adalah fakta sosial, dengan kata lain, moralitas bisa dipelajari secara empiris, karena ia berada di luar individu, ia memaksa individu, dan bisa dijelaskan dengan fakta-fakta sosial lain. Artinya, moralitas bukanlah sesuatu yang bisa dipikirkan secara filosofis, namun sesuatu yang mesti dipelajari sebagai fenomena empiris. Kedua, Durkheim dianggap sebagai sosiolog moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya kepada “kesehatan” moral masyarakat modern.
b.    Kesadaran Kolektif
Durkheim mendefinisikan kesadaran kolektif sebagai berikut; “seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri, kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Dengan demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular, kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran partikular”. Ada beberapa hal yang patut dicatat dari definisi ini. Pertama, kesadaran kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika dia menyebut “keseluruhan” kepercayaan dan sentimen bersama. Kedua, Durkheim memahami kesadaran kolektif sebagai sesuatu terlepas dari dan mampu menciptakan fakta sosial yang lain. Kesadaran kolektif bukan hanya sekedar cerminan dari basis material sebagaimana yang dikemukakan Marx. Ketiga, kesadaran kolektif baru bisa “terwujud” melalui kesadaran-kesadaran individual.
Kesadaran kolektif merujuk pada struktur umum pengertian, norma, dan kepercayaan bersama. Oleh karena itu dia adlah konsep yang sangat terbuka dan tidak tetap. Durkheim menggunakan konsep ini untuk menyatakan bahwa masyarakat “primitif” memiliki kesadaran kolektif yang kuat, yaitu pengertian, norma, dan kepercayaan bersama , lebih dari masyarakat modern.
c.    Representasi Kolektif
Contoh representasi kolektif adalah simbol agama, mitos, dan legenda populer. Semuanya mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai kolektif, dan mendorong kita untuk menyesuaikan diri dengan klaim kolektif. Representasi kolektif juga tidak bisa direduksi kepada individu-individu, karena ia muncul dari interaksi sosial, dan hanya bisa dipelajari secara langsung karena cenderung berhubungan dengan simbol material seperti isyarat, ikon, dan gambar atau berhubungan dengan praktik seperti ritual.
d.    Arus Sosial
Menurut Durkheim, arus sosial merupakan fakta sosial yang tidak menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas. Durkheim mencontohkan dengan “dengan luapan semangat, amarah, dan rasa kasihan” yang terbentuk dalam kumpulan publik.
e.    Pikiran Kelompok
Durkheim menyatakan bahwa pikiran kolektif sebenarnya adalah kumpulan pikiran individu. Akan tetapi pikiran individual tidak secara mekanis saling bersinggungan dan tertutup satu sama lain. Pikiran-pikiran individual terus-menerus berinteraksi melalui pertukaran simbol: mereka megelompokkan diri berdasarkan hubungan alami mereka, mereka menyusun dan mengatur diri mereka sendiri. Dalam hal ini terbentuklah suatu hal baru yang murni bersifat psikologis, hal yang tak ada bandingannya di dunia biasa.
Dalam melakukan pendekatan terhadap pengamatan fakta sosial ini dapat dilakukan dengan berbagai metode yang banyak untuk ditempuh, baik interview maupun kuisioner yang terbagi lagi menjadi berbagai cabang dan metode-metode yang semakin berkembang.Kedua metode itulah yang hingga kini masih tetap dipertahankan oleh penganut paradigma fakta sosial sekalipun masih adanya terdapat kelemahan didalam kedua metode tersebut.
Durkheim juga memandang agama dari perspektif sosiologi, Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan dan berkaitan dengan hal-hal yang kudus, kepercayaan-kepercayaan, dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal" Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia tidak akan lagi menjadi sebuah agama, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.
Hubungan antara agama dengan masyarakat terlihat di dalam masalah ritual. Kesatuan masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran ini. Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Ritual, yang terwujud dalam pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi kepercayaan mereka atas orde moral yang ada, di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung. Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan begitu turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.
Agama juga memiliki sifatnya yang historis. Menurut Durkheim totemisme adalah agama yang paling tua yang di kemudian menjadi sumber dari bentuk-bentuk agama lainnya. Seperti konsep kekuatan kekudusan pada totem itu juga yang di kemudian hari berkembang menjadi konsep dewa-dewa, dsb. Kemudian perubahan-perubahan sosial di masyarakat juga dapat merubah bentuk-bentuk gagasan di dalam sistem-sistem kepercayaan. Ini terlihat dalam transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, dimana diikuti perubahan dari "agama" ke moralitas rasional individual, yang memiliki ciri-ciri dan memainkan peran yang sama seperti agama.
Durkheim mengulas arti penting dari agama dalam masyarakat. Dan mengenalnya sebagai sumber orisinil dari semua gagasan moral, filsafat, ilmu pengetahuan, dan keadilan. Durkheim secara konsisten mendukung kesimpulan yang telah diambil pada titik dini dari kariernya, bahwa baik orang orang yang mempertahankan teori teori ekonomi lama keliru dalam berpikir bahwa sekarang tidak perlu ada pengaturan. Dan bahwa pembela lembaga lembaga keagamaan salah dalam mempercayai bahwa pengaturan waktu yang lalu dapat berguna bagi masa sekarang. Arti penting agama yang mulai menurun dalam masyarakat – masyarakat kontemporer, merupakan akibat yang tidak bisa dielakkan dari arti pentingnya solidaritas mekanis yang makin menurun.
Dengan demikian, segi penting yang kita kaitkan dengan sosiologi agama, sedikitpun tidak mempunyai implikasi bahwa agama itu harus memainkan peran yang sama dalam masyarakat-masyarakat sekarang. Seperti yang dimainkannya pada waktu waktu lain. Dalam suatu segi, kesimpulan yang bertentangan akan lebih sehat. Mengingat agama adalah suatu fenomena kuno, maka agama makin lama makin harus mengalah kepada bentuk bentuk sosial baru,yang telah dilahirkannya.
Baru setelah tahun 1895, Durkheim mengakui bahwa dia sepenuhnya menyadari tentang arti penting pada agama sebagai suatu fenomena sosial. Menurut kesaksiannya sendiri, kesadaran tentang adanya arti penting agama, yang sebagian besar nampaknya merupakan hasil dari usahanya membaca karya karya para ahli antropologis Inggris, menyebabkan dia untuk menilai kembali tulisan-tulisannya yang terdahulu untuk menarik implikasi-implikasi dari pengertian pengertian yang baru ini. Tafsiran konfensional dari hal ini, ialah bahwa Durkheim bergeser dari posisi yang relative “materialistik” yang dianggap telah ia pegang dalam The Division of Labour, kearah suatu pendirian yang lebih dekat kepada “idealism”. Akan tetapi ini menyesatkan kalau sama sekali tidak salah, dan merupakan salah tafsir tentang pandangan pandangan Durkheim, yang sebagian berasal dari kecenderungan yang sering timbul pada para penulis sekunder untuk menggabungkan analisis fungsional dengan analisis historis dari Durkheim melalui cara yang sebenarnya pada kenyataannya asing bagi pemikiran Durkheim sendiri.
Perbedaan antara yang sakral dan yang profan serta terangkatnya beberapa aspek kehidupan sosial ke level yang sakral memang merupakan syarat mutlak bagi keberadaan agama, namun belum cukup sebagai syarat kemungkinannya. Tiga syarat lain yang dibutuhkan adalah: pertama, harus ada pengembangan kepercayaan religius. Kedua, harus ada ritual agama, yaitu aturan tingkah laku yang mengatur bagaimana seorang manusia harus bersikap terhadap hal-hal yang sakral tersebut. Ketiga, agama membutuhkan gereja, atau suatu komunitas moral yang melingkupi seluruh anggotanya. Hubungan timbal balik antara yang sakral, kepercayaan, ritual dan gereja mendorong Durkheim untuk mengemukakan definisi agama sebagai berikut: “Agama adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktik yang menyatu dalam sebuah komunitas moral tunggal yang dinamai Gereja, semua yang melekat padanya.
Ritual dan Gereja sangat penting dalam teori agama Durkheim karena keduanya menghubungkan representasi sosial dengan praktik individu. Individu mempelajari sesuatu yang sakral dan kepercayaannya yang berbaur melalui keikutsertaan dia dalam ritual dan komunitas gereja. Ritual dan Gereja menjaga representasi masyarakat dari kehilangan tekanan mereka dengan mengulang reaksi ingatan kelompok kolektif secara dramatis.

Selanjutnya teori Durkheim yang sangat terkenal adalah analisisnya terhadap kasus bunuh diri. Durkheim belakangan mengembangkan konsep tentang anomie dalam "Bunuh Diri", yang diterbitkannya pada 1897. Dalam bukunya ini, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri di antara orang-orang Protestan dan Katolik, dan menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang Katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim, orang mempunyai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka, yang disebutnya integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri: tingkat yang rendah menghasilkan hal ini karena rendahnya integrasi sosial menghasilkan masyarakat yang tidak terorganisasi, menyebabkan orang melakukan bunuh diri sebagai upaya terakhir, sementara tingkat yang tinggi menyebabkan orang bunuh diri agar mereka tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat Protestan mempunyai tingat yang rendah. Karya ini telah memengaruhi para penganjur teori kontrol, dan seringkali disebut sebagai studi sosiologis yang klasik.
Pentingnya arti solidaritas sosial dalam masyarakat bagi seorang individu ditunjukkan oleh Durkheim dalam menganalisis tindakan bunuh diri. Tindakan yang demikian tampak individual tidak dapat dijelaskan melalui cara individual, karena selalu berhubunganan dengan perkara sosial.
Studi Durkheim tentang bunuh diri adalah contoh keterkaitan teori yang dikemukakan oleh Durkheim dengan penelitian. Durkheim memilih studi bunuh diri karena persoalan ini realtif merupakan fenomena konkret dan spesifik, di mana tersedia data yang bagus secara komparatif. Dengan tujuan utama untuk menunjukkan kekuatan ilmu sosiologi. Bunuh diri yang adalah tindakan pribadi dan personal dapat dianalisa dengan menggunakan ilmu sosiologi. Durkheim tidak memfokuskan diri pada mengapa orang bunuh diri, tetapi pada mengapa angka bunuh diri dalam satu kelompok (masyarakat) bisa lebih tinggi dari kelompok (masyarakat) yang lainnya. Kesimpulan Durkheim akan hal tersebut adalah bahwa faktor terpenting dalam perbedaan angka bunuh diri akan ditemukan dalam perbedaan level fakta sosial. Kelompok yang berbeda memiliki sentimen kolektif yang berbeda sehingga menciptakan arus sosial yang berbeda pula. Arus sosial itulah yang mempengaruhi keputusan seorang individu untuk bunuh diri.
Teori bunuh diri Durkheim dapat dilihat dengan jelas melalui memahami dua fakta sosial utama yang membentuknya, yakni: integrasi dan regulasi. Integrasi merujuk pada kuat tidaknya keterikatan dengan masyarakat dan regulasi merujuk pada tingkat paksaaan eksternal yang dirasakan oleh individu. Menurut Durkheim, kedua arus sosial tersebut adalah variabel yang saling berkaitan dan angka bunuh diri meningkat ketika salah satu arus menurun dan yang lain meningkat. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat empat jenis bunuh diri, yakni: bunuh diri egoistis, bunuh diri altruitis, bunuh diri anomik, dan bunuh diri fatalistis.
Dalam kasus bunuh diri egoistis, manusia berlaku sebagai pribadi dan manusai sosial. Manusia sosial mengandalkan adanya suatu masyarakat tempat ia mengungkapkan dan mengabdikan dirinya. Jika di dalam keadaan masyarakat ini tidak erat fakta sosialnya, maka individu tidak lagi merasakan kehadiran masyarakat sebagai pelindungnya, dan hilanglah tempat berpijak individu, yang tinggal hanyalah kesepian yang menekan. Makin lemah atau longgar ikatan sosial anggotanya anggotanya, makin kecil ketegantungan si individu terhadap masyarakat itu. Dalam keadaan seperti ini, individu bergantung pada dirinya sendiri, dan hanya mengakui aturan-aturan yang menurutnya benar dan menguntungkan dirinya. Dalam kasus bunuh diri altruistik, terjadi ketika adanya kewajiban untuk membunuh dirinya yang diakibatkan oleh ketatnya aturan adat. Disini integrai individualnya sangat kokoh. Contoh bunuh diri pada kasus ini adalah bunuh diri seorang istri akan kematian suaminya, bunuh diri seorang pelayan pada kematian tuannya, atau seorang prajurit pada kematian pemimpinnya. Dalam kasus bunuh diri anomik, masyarakat bukanlah hanya merupakan tempat tumpuan perasaan individu, dan aktivitas sekelompok individu yang berkumpul menjadi satu, tetapi masyarakat juga memiliki kekuatan untuk menguasai individu-individu anggota masyarakat tersebut, dan bunuh diri fatalistis bunuh diri yang terjadi akibat dari integrasi sosial yang sangat kuat di dalam masyarakat. Salah satu contoh dari kasus bunuh diri altruistis adalah bunuh diri massal yang dilakukan oleh pengikut Pendeta Jim Jones di Jonestown, Guyana.
Bunuh diri menurut tafsir psikologis disebabkan oleh empat tipe gangguan mental, yaitu:
a.    Maniacal suicide, yaitu bunuh diri yang disebabkan oleh halusinasi. Bunuh diri tipe ini dilakukan oleh orang yang berada dalam keadaan depresi berat dan kesedihan yang meluap-luap.
b.    Obsessive suicide, yaitu kasus-kasus bunuh diri yang tidak dilandaskan pada motivasi tertentu, tetapi dilandaskan semata-mata pada obsesi yang begitu kuat kematian terhadap kematian.
c.     Impulsive atau automatic suicide, yaitu tindakan bunuh diri yang semata-mata dilandaskan pada dorongan impulsif.
Antara cara regulatif itu terlaksana dan jumlah bunuh diri terdapat kaitan yang sangat erat. Kurangnya kekuatan mengatur dari masyarakat terhadap individu, menyebabkan terjadinya kasus bunuh diri. Bunuh diri semacam ini terjadi dalam masyarakat modern. Kebutuhan seorang individu dan pemenuhannya diatur oleh masyarakat. Kepercayaan dan praktek-praktek yang dipelajari individu membentuk dirinya dalam kesadaran kolektif. Jika pengaturan terhadap individu ini melemah, maka kondisi bunuh diri memuncak. Fakta menunjukkan bahwa krisis ekonomi membangkitkan kecenderungan bunuh diri dan sebaliknya, keadaan kemakmuran yang datangnya lebih cepat juga mempengaruhi kejiwaan anggota masyarakat.
Untuk lebih mudah memahami Hubungan Empat Jenis Bunuh Diri menurut Durkheim dapat dilihat sebagai berikut.

Integrasi    Rendah    Bunuh diri egoistis      
    Tinggi    Bunuh diri altruistis      
Regulasi    Rendah    Bunuh diri anomic      
    Tinggi    Bunuh diri fatalistis   

Berdasarkan pembahasan di atas, maka bunuh diripun dapat dianalisis secara social. Durkheim meneliti berbagai tingkat bunuh diri di antara orang-orang Protestan dan Katolik, dan menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang Katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim, orang mempunyai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka, yang disebutnya integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri.



3.    Pemikiran Sosiologis Ferdinand Tonnies
Ferdinand tonnies lahir pada tahun 1855 di Schleswig-Holstein (Jerman Timur) yang berada di Tanjung Eiderstedt, masih dalam kedaulatan Denmark.  Ia belajar di universitas Tubingen di Husum dimana ia menjadi tertarik menjadi novelis dan penyair. Pada tahun 1877 dia menerima gelar doctor dalam sastra klasik di universitass Tubingen, setelah itu Tonnies beralih ke filsafat, sejarah, biologi, psikologi, ekonomi, dan mulai mempelajari sosiologi. Empat tahun berikutnya pada tahun 1881 dia memulai karirnya dengan menjadi dosen swasta di Universitas Kiel, ia mengajar filsafat, ekonomi, statistic, sementara banyak dari hasil penelitiannya ia publikasikan di media massa. Oleh karena itu enam tahun kemudian, pada tahun 1887 ia menerbitkan buku paling terkenal mengenai Gemeinschaft dan Gesellschaft (komunitas dan masyarakat)
Teori tonnies yang paling popular adalah teori tentang Tipe Masyarakat menurut teori tonnies mengartikan bahwa Masyarakat bukan organisme yang dihasilkan oleh proses-proses biologis. Juga bukan mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian individual yang masing-masing berdiri sendiri, sedang mereka didorong oleh naluri-naluri spontan yang bersifat menentukan bagi manusia. Masyarakat adalah usaha manusia untuk memelihara relasi-relasi timbal balik yang mantap. Kemauan manusia mendasari masyarakat.
Berkenaan dengan kemauan itu, Tonnies membedakan antara Zweekwille, yaitu kemauan rasional yang hendak mencapai tujuan dan Triebwille yaitu dorongan batin berupa perasaan. Distingsi ini berasal dari Wilhelm Wundu. Berbicara tentang Zweekwille, apabila orang hendak mencapai suatu tujuan tertentu dan mengambil tindakan rasional ke arah itu.
Triebwille meliputi sejumlah langkah atau tindakan yang tidak selalu berasal dari akal budi, melainkan dari watak, hati atau jiwa seseorang yang bersangkutan. Triebwille bersumber pada selera, perasaan, kecenderungan psikis, kebutuhan biotis, tradisi, atau keyakinan seseorang. Triebwille paling menonjol di kalangan petani, orang seniman, rakyat sederhana, khususnya wanita dan generasi muda. Zweekwille lebih menonjol di kalangan pedagang, ilmuan dan pejabat-pejabat serta generasi tua.
Distingsi ini langsung berpengaruh atas corak dan ciri interaksi seseorang dalam kelompok atau masyarakat, sehingga kita dapat membedakan dua tipe masyarakat. Pertama Gemeinschaft atau paguyuban adalah bentuk hidup bersama yang lebih bersesuaian dengan Triebwille. Kerjasama dan kebersamaan tidak diadakan untuk mencapai tujuan diluar melainkan dihayati sebagai tujuan dalam dirinya. Orangnya merasa dekat satu sama lain dan memperoleh kepuasan karenanya. Suasanalah yang dianggap lebih penting daripada tujuan. Spontanitas diutamakan di atas undang-undang atau keteraturan. Tonnies menyebut sebagai contoh keluarga, lingkungan tetangga, sahabat-sahabat, serikat pertukangan dalam abad pertengahan, gereja, desa dll. Para anggota disemangati dan dipersatukan dalam perilaku sosial mereka oleh ikatan persaudaraan, simpati dan perasaan lainnya, sehingga mereka terlibat secara psikis dalam suka duka hidup bersama. kita boleh mengatakan bahwa mereka sehati dan sejiwa. Kata Tonnies, bentuk umum persekutuan hidup dinamakan “Gemeinschaft “ itu keluarga. Orang memasuki jaringan relasi-relasi kekeluargaan karena lahir. Walaupun kemauan bebas dan pertimbangan rasional dapat menentukan apakah orangnya akan tetap tinggal dalam keluarganya atau tidak, namun relasi itu sendiri tidak tergantung seluruhnya dari kemauan dan pertimbangan itu. Ketiga dasar yang membentuk Gemeinschaft ialah: darah, tempat tinggal atau tanah dan jiwa atau rasa kekerabatan, ketetanggaan dan persahabatan. Ketiga unsur ini diliputi oleh keluarga.
Gesellschaft atau patembayan adalah tipe asosiasi dimana relasi-relasi kebersamaan dan kebersatuan anatara orang berasal dari faktor-faktor lahiriah seperti persetujuan, peraturan, undang-undang, dsb. Tonnies mengatakan teori Gesselshcaft berhubungan dengan penjumlahan atau kumpulan orang yang dibentuk atas cara buatan. Kalau dilihat sepintas lalu saja, kumpulan itu mirip dengan Gemeinschaft, yaitu sejauh para anggota individual hidup bersama dan tinggal bersama secara damai. Tetapi dalam Gemeinschaft mereka pada dasarnya terus bersatu sekalipun ada faktor-faktor yang memisahkan, sedang Gesellschaft pada dasarnya mereka tetap berpisah satu dengan yang lain meskipunada faktor-faktor lain yang menyatukan.
Tonnies memakai istilah hidup yang organis dan nyata untuk relasi-relasi yang berlaku dalam Gemeinschaft  dan istilah struktur yang khayal dan mekanis untuk relasi-relasi yang berlaku dalam Gesellschaft. Yang pertama membentuk suatu kesatuan hidup dimana unsur kesatuan dan kolektivitas lebih menonjol yang kedua menyerupai bagian mekanisme, dimana individu dan kepentingannya lebih menonjol.
Perlu dimaklumi bahwa Tonnies tidak pernah mengatakan bahwa tiap masyarakat Gemeinschaft sama dengan organisme dan masyarakat Gesellschaft sama dengan mekanisme. Sebaliknya ia menolak baik realisme maupun nominalisme yang kedua-duanya sejak Aristoteles selalu diperhitungkan oleh filsuf-filsuf dan telah menghasilkan dua gambaran masyarakat yang ekstrem. Ia hanya bertujuan untuk melukiskan atas cara abstrak dan dengan memakai konsep-konsep dua bentuk atau tipe kehidupan bersama yang berbeda-beda dan merupakan dua kemungkinan abstrak.
Dengan mengingat manusia adalah makhluk dwi-tunggal yang menyatukan dalam dirinya baik individualitas maupun sosialitas, maka kita dapat mengatakan bahwa masyarakatnya selalu akan bercorak entah kurang individualis maupun kurang kolektivistis, tetapi tidak pernah individualis melulu juga kolektivistis melulu. Perbedaan logis anatara dua pola dasar tidak berarti bahwa kenyataan dua tipe masyarakat muncul juga murni dan secara ekstrem.
Sama sebagaimana telah diungkapkan oleh Cooley, bahwa konsep-konsep egoisme dan altruisme, pilihan bebas dan kewajiban sosial, hanya saling menolak di bidang konseptual saja. Sedang dalam kenyataanya mereka tetap terjalin menjadi satu hidup, demikian juga dengan konsep Gemeinschaft dan Gesellschaft. Dalam kenyataan praktis mereka tidak saling menolak, sebab tidak mungkin ada Gemeinschaft tanpa ciri-ciri Gesellschaft dan tidak mungkin ada Gesellschaft tanpa ciri-ciri Gemeinschaft. Misalnya keluarga tradisional dan masyarakat desa yang merupakan contoh Gemeinschaft tidak akan dapat bertahan terus menerus tanpa adanya peraturan, undang-undang, sistem peradilan dan kepemimpinan. Sekalipun orangnya didorong oleh idealisme dan kemauan baik dan menggabungkan diri ke dalam suatu Gemeinschaft mereka tetap membutuhkan beberapa kepastian yang menyangkut rezeki dan kebutuhan lain.
Dilain pihak, walaupun suatu perusahaan diatur dan diselenggarakan secara birokratis dan rasional menurut gambaran Gesellschaft, unsur-unsur manusia yang nonrasional akan tetap ikut memainkan peran dan mempengaruhi interaksi orang yang bersangkutan. Sama sebagaimana Zweekwille dan Triebwille terjalin, demikian pula halnya maninfestasi mereka berupa kedua pola interaksi masyarakat. Itu sebabnya Tonnies menegaskan bahwa tiap-tiap relasi selalu mengungkapkan ketunggalan dalam kebhinekaan, dan kebhinekaan dalam ketunggalan. Hanya kalau kita membuat deskripsi umum dan abstrak, kita mempertentangkan unsur yang satu dengan lain. Misalnya kita berkata bahwa seorang seniman mengharapkan penghargaan (Triebwille), sedang seorang mengaharapkan keuntungan. Ini suatu pertentangan yang abstrak dan generalisasi. Sebab dalam kenyataanya kedua hal tersebut tercampur. Pada dasarnya sorang seniman juga memerlukan uang dan sebaliknya seorang pedagang juga menginginkan penghargaan. Atau kita dapat menyebut dengan seniman lebih banyak menginginkan penghargaan dan pedagang lebih banyak mengharapkan uang.
Dalam pola interaksi Gemeinschaft dan pola yang berlaku dalam Gesellschaft tidak saling menolak satu sama lain. Tiap-tiap relasi mengandung dua aspek. Selalu ada dua hal yang kait mengait dan tidak  mungkin dipisahkan dalam hidup. namun dalam tipe Gemeinschaft unsur hukum, peraturan dan disiplin kurang dipentingkan dan tidak sama menonjol seperti dalam Gesellschaft, sedang unsur perasaan dan solidaritas yang berasal dari Triebwille tidak begitu menonjol dalam Gesellschaft.
Kalau semua masayarakat yang kita kenal coraknya kita tempatkan di atas suatu garis bujur dimana ujung satu merupakan Gemeinschaft murni dan ujung lain Gesellschaft murni, maka kita akan melihat bahwa ada masyarakat yang lebih dekat dengan ujung satu dan ada yang lebih dekta dengan ujung yang lain, tetapi tidak ada yang bertepatan dengan salah satu ujung.
Sehubungan dengan individu juga kita harus mengatakan bahwa ia selalu mondar-mandir anatara dua tipe kelakuan. Ada kalanya dia bersikap sangan disipliner, zakelijk dan rasional, sedang pada waktu tertentu ia lebih banyak didorong oleh pertimbangan dan motivasi afektif.
Secara ringkasnya Tonnies memiliki teori yang membedakan konsep tradisional dan modern yaitu Gemeinschat dan Gesselschaft. Gemeinschaft disebut juga paguyuban, yaitu merupakan bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang bersifat alamiah dan kekal. Dasar hubungan tersebut adalah timbul dari rasa cinta rasa dan kesatuan batin. Bentuk gemeinschaft terutama akan dijumpai dalam keluarga, kelompok kekerabatan, rukuun tetangga dan lain sebagainya. Gesellschaf (patembayan) merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek, bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka serta strukturnya bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan sebagaai sebuah mesin. Bbentuk gesellscaft terutama terdapat dalam hubbungan perjanjian yang berdasarkan ikatan timbale balik misalnya ikatan antara pedagang, organisasi dalam suatu pabrik dan sebagainya. Tonnies menyesuaikan Gemeinscaf dan gesellschaft dengan dua bentuk kemauan manusia yaitu Wesenwille (Gemeinschaft) dan Kurwille (Gesellschaft). Wesenwile merupakan bentuk-bentuk kehendak baik dalam arti positif dan negative yang berakar pada manusia yang diperkuat oleh agama dan kepercayaan yang berlaku  di dalam diri manusia dan perilakunya atau kekuatan naluriah. Sedangkan Kurwille merupakan bentuk-bentuk kehendak yang mendasar pada akal manusia yang ditujukkan  pada tujuan-tujuan tertentu dan sifatnya rasional dengan menggunakan alat-alat dari unsur-unsur kehidupan lainnya.
Tonnies membedakan Gemeinschaft menjadi 3 jenis, yaitu:
a.    Gemeinschaft by blood(ikatan darah) yaitu gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ikatan darah atau keturunan. Contohnya: kekerabatan, masyarakat-masyarakat daerah.
b.    Gemeinschaft of place (tempat), yaitu gemeinschaft yang mendasarkan diri pada tempat tinggal yang saling berdekatan sehingga dimungkinkan untuk dapat saling tolong menolong. Contoh : RT, RW, arisan.
c.    Gemeinschaft of mind (jiwa dan pikiran) yaitu gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ideology atau pikiran yang sama. Contoh :rasa kekerabatan, ketetanggaan dan persahabatan.
Bagi Tonnies, masyarakat Gemeinschaft mencerminkan satu kemauan yang bersifat alamiah dan memperlihatkan satu struktur sosial yang ditandai oleh kesatuan organik, tradisi yang kuat, hubungan yang menyeluruh dan memperlihatkan spontanitas dalam perilaku. Sebaliknya masyarakat Gesellschaft ditandai oleh kemauan yang bersifat rasional, yang lebih direncanakan, serta mengutamakan hubungan sosial yang didasarkan pada spesialisasi tertentu. Disitingsi Maine antara status dan kontrak memperlihatkan dikotomi yang serupa, seperti yang kemudian banyak dilukiskan oleh Redfield antara kebudayaan rakyat dan kebudayaan kota.


4.   
Teori Georg Simmel Interaksi Sosial, Sosiologi Uang, Dan Tragedi Budaya
Georg simmel lahir tahun 1858 di pusat kota berlin. Ayahnya seorang pedagang yahudi kaya, yang masuk agama Kristen, dan meninggal ketika georg masih sangat kecil, Sesudah kematian ayahnya, seorang teman keluarga itu diminta untuk menjaga Georg, dan kekayaan berupa uang yang ditinggalkan oleh pengasuhnya itu memungkinkan dia untuk mempertahankan suatu gaya hidup borjuis yang enak, meskipun selama karirnya dia tidak berhasil memperoleh uang.
Latar belakang simmel yang kekotaan serta status akademisnya memberikannya kepekaan akan hal-hal yang halus dan tidak terlihat dalam proses social yang tercermin dalam tulisannya. Mungkin beberapa dari pandangan ini tidak muncul kalau Simmel berakar lebih kuat lagi dalam perspektif intelektualnya dan jadinya kurang objektif.
Dalam pemikirannya Georg Simmel terkenal dalam sosiologi kontemporer karena sumbangannya bagi pemahaman kita tentang pola, bentuk, dan pemikirannnya tentang Teori Interaksi Sosial. Simmel menjelaskan bahwa salah satu minat utamanya adalah interaksi (asosiasi) antar manusia dan tujuan minatnya ini adalah melihat besarnya cakupan interaksi yang pada suatu ketika mungkin terlihat sepele namun pada saat lain sangat penting. Ini buknanlah kelanjutan minat Durkheim tentang fakta sosial, namun lebih merupakan pernyataan tentang fokus sosiologi yang skalanya lebih kecil.
Simmel melihat bahwa salah satu tugas sosiologi adalah memahami interaksi antar individu. Salah satu teori dari Simmel yang terkenal yaitu mengenai masyarakat sebagai proses interaksi. Pengertian masyarakat menurut pandangan Simmel, masyarakat dapat terbentuk karena adanya interaksi, bukan adanya kelompok orang yang hanya diam. Simmel tidak memementingkan berapa jumlah orang yang berinteraksi, yang penting adalah adanya interaksi. Melalui interaksi timbal balik, dimana individu saling berhubungan dan saling mempengaruhi, maka masyarakat itu akan muncul. Misalnya saja sekelompok orang yang sedang menunggu kedatangan pesawat dan kemudian ada pengumuman bahwa sebentar lagi pesawat akan datang, di sana beberapa orang akan mulai berbicara dengan orang yang ada disampingnya. Menurut Simmel, ini dapat disebut dengan masyarakat, tetapi masyarakat tersebut hanyalah masyarakat yang bersifat sementara dimana ikatan-ikatan interaksi timbal baliknya juga sementara. Masyarakat terdiri dari jaringan relasi-relasi yang menjadikan mereka bersatu. Terdorong dari dalam batinnya oleh bermacam-macam tujuan dan kebutuhan, manusia mencari kontak dengan orang lain, misalnya dengan komunikasi. Komunikasi merupakan salah satu bentuk dari interaksi, di mana para partisipan memakai bahasa atau simbol-simbol lain yang telah disepakati bersama, sehingga memlalui sarana tersebut mereka dapat saling memepengaruhi. Jika komunikasi ini berlangsung secara terus menerus, maka kehidupan sosial akan tampak.
Simmel membedakan interaksi berdasarkan jumlah orangnya, dua, tiga atau lebih. Dalam masayarakat dua-an terdapat hal-hal yang berbeda yang tidak terdapat dalam tiga-an, yaitu dalam dua-an apabila yang satu meninggalkan interaksi tersebut maka masyarakat tersebutakan bubar atau hilang, berbeda dengan masyarakat tiga-an, dalam masyarakat tigaan atau lebih apabila yang satu meninggalkan interaksi ataupun tidak memperdulikan interaksi tersebut, maka masyarakat tersebut masih bisa berjalan. Menurut Simmel, perkembanga  sosiologis terjadi jika sekelompok orang yang beranggotakan dua orang diubah menjadi tiga orang karena tuntutan pihak ketiga. Kemungkinan-kemungkinan sosial yang muncul dalam triad jelad tidak akan muncul dalam dyad. Misalnya dalam kelompok triad, salah seorang anggota dapat menjadi arbiter atau mediator dalam menghadapi perbedaan-perbedaan yang muncul antara dua anggotanya yang lain
Dalam kajian sosiologi, Simmel memusatkan perhatian pada bentuk-bentuk interaksi sosial, yang diartikan sebagai pola perilaku universal dan berulang-ulang berdasarkan isi kehidupan sosial yang diungkapkan. Isi kehidupan sosial antara lain mencangkup naluri (insting), kepentingan objektif, keuntungan, dan yang lainnya. Keseluruhan isi ini menurut Simmel, menyebabkan  orang hidup bersama dengan orang lain, bekerja sama, memepengaruhi dan dipengaruhi orang lain.
Dalam bukunya The Philosophy Of Money, Simmel memusatkan perhatian pada kemunculan perekonomian uang dalam masyarakat modern yang terpisah dari individu dan mendominasi individu. Menurut Simmel, kultur dalam masyarakat modern dan seluruh komponennya yang beraneka ragam itu (termasuk ekonomi uang) akan berkembang, dan begitu sudah berkembang maka arti penting atau peran individu akan mulai menurun. Misalnya, begitu tekhnologi industry yang menyertai ekonomi modern berkembang dan tumbuh makin canggih, maka ketrampilan dan kemampuan tenaga kerja secara individual makin kurang penting. Akhirnya tenaga tenaga kerja dikonfrontasikan dengan mesin-mesin industry. Lebih umum lagi, Simmel berpendapat bahwa kehidupan modern, perkrmbangan kultur yang lebih luas mnyebabkan peran individu makin merosot.
Dalam teori uangnya, Simmel menyatakan bahwa uang dapat merubah pola interaksi. Misalnya, pada zaman dahulu ketika belum terdapat uang maka orang akan melakukan jual beli dengan cara barter, tetapi kemudian muncul uang logam  masyarakat lebih mudah membelanjakannya, begitu juga dengan uang kertas, masyarakat tidak akan sulit membawa uang kemana-mana karena uang tersebut sangatlah ringan.
Menurut Simmel, petukaran ekonomi merupkan interaksi sosial. Ketika transaksi moneter menggantikan barter, maka terjadi perubahan penting dalam bentuk interaksi atau pelaku sosial. Dalam pengamatan Simmel, manusia modern telah menjadikan uang sebagai tujuan utama, padahal sebetulnya uang hanya merupakan sarana. Bersamaan dengan itu, muncullah dampak-dampak negative terhadap individu, seperti sinisme. Dampak ekonomi lainnya adalah reduksi nilai-nilai manusia jadi uang. Artinya, bahwa segalanya bernilai kalau menghasilkan banyak uang. Sambil menunjukkan dampak negative dari fenomena uang, Simmel menegaskan semuanya tergantung pada manusia itu sendiri. Akan tetapi diingatkannya bahwa uang hanyalah sarana, bukan tujuan utama.
Tidak ada lagi individu yang terbatas, seperti dalam system barter, pada penukaran barang atau jas menurut kebutuhan mereka yang berlangsung, sebaliknya suatu produk atau jasa dapat ditukar dengan uang, yang nantinya dapat digunakan dalam transaksi pertukaran lainnya dengan orang yang berlainan. Uang memungkinkan orang untuk mengatasi kebutuhannya yang berlabgsung dalam transaksi ekonomi dan untuk terlibat dengan sejumlah orang dengan siapa pertukaran yang langsung atau barter itu tidak mungkin dapat dilaksanakan.
Uang dapat mempertinggi kebebasan individu, paling tidak bagi mereka yang mempunyai cukup uang. Gaya hidup individu tidak terlalu banyak ditentukan oleh kebiasan dan tradisi, seperti yang ditentukan oleh sumber-sumber keuangan yang mereka miliki untuk membeli perlengkapan-perlengkapan yang perlu untuk gaya hidup yang sudah mereka tentukan. Bentuk- bentuk sosial yang dominan dalam kehidupan modern sangat berbeda dalam berbagai hal dari bentuk-bentuk sosial dalam kehidupan tradisional.
Jadi secara garis besar, teori simmel Simmel lebih menekankan pada interaksi sosial yang membentuk masyarakat. Dalam pandangannya, pokok permasalahan yang sangat tepat untuk sosiologi adalah bentuk-bentuk interaksi dibandingkan dengan isi interaksi. Walaupun lingkupnya kecil, tetapi teori Simmel tersebut masih tetap ada sampai sekarang. Dan teorinya tentang uang, Simmel mencoba menganalisis mengenai pengaruh adanya uang sebagai alat tukar terhadap perubahan gaya hidup manusia.
Pokok perhatian simmel bukanlah isi melainkan Bentuk dan Tipe Interaksi Social. Perhatian ini muncul dari keidentikan simmel dengan tradisi Kantian dalam filsafat, yang memisahkan bentuk dan isi. Namun, pandangan simmel cukup sederhana. Dari sudut pandang simmel, dinia nyata tersusun dari peristiwa, tindakan, interaksi, dan lain sebagainya yang tak terhingga. Untuk memecahkan teka-teki realitas ini (isi), orang menatanya dengan menerapkan sejumlah pola, atau bentuk padanya. Jadi, alih-alih serangkaian peristiwa spesifik yang membingungkan, actor berhadapan dengan bentuk dalam jumlah terbatas. Menurut pandangan simmel, tugas sosiolog adalah melakukan hal yang sama persis dengan apa yang dilakukan orang awam, yaitu menerapkan bentuk yang jumlahnya terbatas kepada realitassosial, khususnya pada interaksi, sehingga dapat dianalisis secara lebih baik. Metodologi secara umum meliputi ekstraksi kesamaan yang ditemukan pada luasnya bentangan interaksi spesifik. Sebagai contoh, bentuk superordinasi dan subordinasi interaksi ditemukan diberbagai latar, “dalam Negara maupun dalam komunitas keagamaan, dalam sekelompok konspirator sebagaimana dalam asosiasi ekonomi, disekolah seni maupun didalam kelurga”. Donald Levine, salah seorang pembahas simmel kontemporer menggambarkan metode simmel dalam melakukan sosiologi interaksional formal sebagai berikut: “ metodenya menyeleksi beberapa fenomena terbatas dan pada lingkup tertentu dari dunia yang terus-menerus berubah ini, menelaah berbagai elemen yang membentuknya, dan menjelaskan sebab musabab koherensi mereka dengan mengungkapkan bentuknya. Kedua, ia meneliti asal-usul bentuk dan implikasi strukturalnya. Lebih spesifik, Levine menunjukkan bahwa bentuk merupakan pola-pola yang ditunjukkan oleh asosiasi.
Minat simmel pada bentuk interaksisosial menuai beragam kritik. Sebagai contoh, ia dituduh memaksakan suatu tatanan yang sebenarnya tidak ada dan dituduh menghasilkan serangkaian studi yang tidak saling terkait dan pada akhirnya sama sekali tidak menerapkan tatanan yang lebih baik pada kompleksitasrealitas social bila dibandingkan dengan yang dilakukan oleh orang awam. Beberapa kritik hanya berlaku jika kita memusatkan perhatian pada pokok perhatian simmel terhadap bentuk interaksi, yang merupakan sosiologi formalnya,dan mengabaikan tipe sosiologi lain yang dipraktikkannya.
Namun, ada beberapa cara untuk membela pendekatan simmel terhadap sosiologi formal. Pertama, pendekatan ini dejkat dengan realitas, seperti tercermin dari begitu banyak contoh dari dunia nyata yang digunakan simmel. Kedua, pendekatan ini tidak menerapkan kategori sewenang-wenang dan kaku terhadap realitas social namun justru mencoba membiarkan bentuk-bentuk tersebut mengalir dari realitas social. Ketiga, pendekatan simmel tidak menggunakan skema teoritis umum tempat dipaksanya seluruh aspek dunia social.selanjutnya ia menghindari reifikasi skema teoritis yang menjangkiti teoritisi seperti talcott parsons. Akhirnya, sosiologi formal berlawanan dengan empirisme yang dikonseptualisasikan secara buruk yang merupakan cirri dari sebagian besar sosiolog. Simmel benar-benar menggunakan data empiris, namun data-data tersebut ditempatkan dibawah upayanya untuk menerapkan beberapa aturan tentang rumitnya dunia realitas social.
Teori simmel selanjutnya adalah Geometri social. Dalam sosiologi formal simmel, kita dapat melihat jelas upayanya mengembangkan “geometri” relasi social. Dua dari koefisien geometri yang menarik perhatiannya adalah jumlah dan jarak.
a.    Jumlah
Minat simmel pada dampak jumlah orang terhadap kualitas interaksi dapat dilihat dalam bahasannya tentang perbedaan dyad dan triad. Dyad dan triad, bagi simmel terdapat perbedaann krusial antara dyad (kelompok yang terdiri dari dua orang) dengan triad (kelompok yang terdiri dari tiga orang). Tambahan orang ketiga menyebabkan perubahan radikal dan fundamental. Anggota keempat dan seterunsnya membawa dampak yang hamper sama dengan masuknya anggota ketiga. Tidak seperti kelompok lain, dyad tidak memperoleh makna diluar individu yang terlibat didalamnya. Tidak ada struktur kelompok independen dalam dyad, kelompok tidak lain hanya terdiri dari dua individu yang dapat dipisahkan. Jadi, masing-masing anggota dyad mempertahankan tingginya level individualitas. Individu tidak direndahkan pada level kelompok. Ini tidak terjadi pada triad. Triad memiliki kemungkinan besar memperoleh makna diluar individu yang terlibat. Tampaknya triad lebih dari sekedar individu yang terlibat didalamnya. Triad berpotensi melahirkan struktur kelompok independen. Akibatnya, terjadi ancaman lebih besar bagi individualitas anggotanya. Triad mungkin saja membawa dampak relevan umum pada anggotanya.
Dengan masuknya pihak ketiga kedalam kelompok, sejumlah peran sosial menjadi mungkin. Sebagai contoh, pihak ketiga dapat memainkan peran sebagai penengah atau mediator pada perselisihan dalam kelompok. Selanjutnyya pihak ketiga dapat memanfaatkan perselisihan antar dua pihak yang lain demi keuntungannya sendiri atau menjadi sasaran yang diperebutkan dua pihak lain. Anggota ketiga pun dapat secara sengaja mendorong terjadinya konflik antar dua pihak lain untuk memperoleh superioritas. Sistem stratifikasi dan struktur otoritas dapat  muncul. Gerakan dari dyad menuju triad adalah sesuatu yang esensial bagi berkembangnya struktur sosial yang dapat dipissahkan dari, dan dominan terhadap individu. Kemungkinan semacam itu tidak ada dalam dyad.
Proses yang dimulai dengan transisi dari dyad menuju triad berlanjut kettika kelompok yyang lebih besar, dan akhirnya masyarakat, muncul. Dalam strukturr sosial yang besar ini, individu, yang semakin terpisah dari struktur masyarakat, tumbuh semakin menyendiri, terisolasi dan akhirnya terfregmentasi.
Ukuran Kelompok
Pada level yang lebih umum terdapat sikap simmel yang mendua terhadap dampak ukuran kelompok. Disattu sisi ia berpendapat bahwa meningkatnya ukuran kelompok atau masyarakat akan meningkatkan kebebasan individu. Kelompok atau masyarakat kecil cnderung mengontrol individu sepenuhnya. Namun pada masyrakat yang lebih luas, individu cenderrung terlibat dalam sejumlah kelompok, yang masing-masing hanya mengontrol sebagian kecil dari keseluruhan kepribadian. Namun simmel juga berpandangan bahwa masyarakat besar menciptakkan serngkaian masalah yang pada akhirnya mengancam kebebasan inividu.
Mungkin yang terpenting dalam konteks minat simmel terhadap bentuk-bentuk interaksi, adalah bahwa meningkatnya ukuran dan diferensiasi cenderung mengendurkan ikatan antar individu dan menimbulkan hubungan yang lebih jauh , impersonal, dan segmental. Paradoksnya, besarrnya kelompok yang membebaskan individu secara simultan mengancam individuualitas tersebut. Yang juga paradoksal adalah keyakinannsimmel bbahwa satu cara yag dilakukan individu untuk mengatasi ancaman masyarakat massa adalah mencenurkan diri mereka kedalam kelompok kecil seperti keluarga.
b.     Jarak
Pokok perhatian simmel yang lain dalam geometri sosial adlah jarak. Levine memaparkan dengan baik panddangan simmel tentang peran jarak dalam relasi sosial ini. “unsur beentuk dan makna berbagai hal merupakan fungsi dari jarak reelatif antarindividu dan individu.” perhatian terhadap jarak ini muncul diberbagai teempat dalam karya simmel.
Jarak juga memainkan peran sentral dalam esai simmel “the stranger”, yang membicarakan, tipe aktor yang tidak terlalu dekat ataupun terlalu jauh. Jika terlalu dekka, ia tidak lagi orang asing, namun jika terlalu jauh, ia akan kehilangan kontak dengan kelompok. Interaksi yang dijalankan orang asing dengan anggota kelompok meliputi kombinasi kedekatan dan jarak. Jarak tertentu orang asing dari kelompok tersebut memungkinkannya memiliki serangkaian pola interaksi tidak lazim dengan anggotanya.
Meskipun dimensi geometri mencakup sejumlah gagasan simmel tentang bentuk dan tipe, didalamnya ada hal-hal yang lebih dari sekedar geometri. Tipe dan bentuk adalah sebuah konstruk yang digunakan simmel untuk memperoleh pemahaman yang lebbih baik tentang luasnya cakupan pola-pola interaksi.
i.    tipe social
ii.    bentuk social
Sebagaimana dengan tipe sosial, simmel melihat luasnya cakupan bentuk sosial, termasuk pertulkaran, konflik, prostitusi, dan soasiabilitas. Kita dapat melukiskan diskusi simmel tentang dominasi, yaitu superordinasi dan subardinasi. Superoedinasi dan subordinasi, memiliki hubungan timbal balik. Pemimpin tidak ingin sepenuhnya mengarahka pikirran dan tindakan ornag lain. Justru pemimpin berharap pihak yang tersubordinasi beraksi secara positif dan negatif. Tidak satupun bentuk interaksi ini yang mungkin ada ttanpa adanya hubungan timbal balik. Dalam bentuk domiinasi paling operatif sekalipun, sampai tingkat tertentu, pihak yang tersubordinasi tetap memiliki kebebasan pribadi.
Bagi kebanyakan orang, superordinasi mencakup upaya untuk menghhapus sepenuhnya independensi pihak yang tersubordinasi, namun simmel berargumen bahwa relasi sosial perlahan akan hilang jika ini terjadi.
Simmel menyatakan bahwa orang dapat disubordinasi oleh individu, kelompok, atau kekuatan objektif. Kepemimpinan oleh indiividu tunggal umumnya mengarah pada kelompok tertutup rapat yang mendukung atu menenttang pemimpin. Sekaliipun ketika oposisi muncuul dalam kelompok tersebut, perselisihan dapat diselesaikan dengan mudah ketiika pihak-pihak yang bertikai berada pada kekuasaan yang samma-sama lebih tinggi . Subordinasi dalam suatu keragaman dapat membawa akibat yang tidak merata. Disatu sisi objektivitas kekuasaan yang diijalankan keragaman mungkin dapat membentuk kesatuan yang lebih besar dalam kelompok bila diibandingkan dengan kekuasaan sewenang-wenang individu . Disisi lain, kebencian cenderung tumbuh diantara pihak yang tersubordinasi jika mereka tidak mendapatkan perrhatian pribadi pemimpin.
Tragedy Kebudayaan adalah Sebab utama meningkatnya kesenjangan ini berakibat meningkatnya pembagian kerja di masyarakat modern. Meningkatnya spesialisasi mengarah pada perbaikan kemampuan untuk menciptakan beragam komponen dunia budaya. Namun, pada saat yang sama, individu yang terspesialisasi kehilangan pemahaman akan kebudayaan total dan kehilangan kemampuan untuk mengendalikannya. Ketika kebudayaan obyektif tumbuh, kebudayaan individu sirna. Salah satu contohnya adalah bahasa sebagai keseluruhan totalitas telah berkembang begitu pesat, namun kemampuan linguistic individu tertentu justru merosot. Terkait dengan itu, seiring dengan tumbuhnya teknologi dan permesinan, kemampuan pekerja individu dan ketrampilan yang dibutuhkan telah merosot drastic. Akhirnya, meskipun terjadi ekspansi besar-besaran ranah intelektual semakin sedikit individu yang tampaknya layak mendapatkan label’intelektual’. Individu terspesialisasi berhadapan dengan prodak yang semakin tertutup dan saling terkait yang hanya sedikit saja atau sama sekali tidak mampu mereka kendalikan. Dunia mekanis yang hampa spiritualisme mulai mendominasi individu, dan gaya hidup mereka terpengaruhi. Produksi menjadi aktivitas hampa makna di mana individu tidak melihat peran apapun yang dapat mereka mainkan dalam seluruh proses produksi atau dalam prodak akhir. Hubungan antar orang sangat terspesialisasi dan impersonal. Konsumsi menjadi sekedar dikonsumsinya satu proak hampa makna setelah prodak hampa makna lainnya.
Ekspansi besar-besaran kebudayaan obyektif membawa efek dramatis pada irama kehidupan. Secara umum, ketimpangan yang menjadi ciri khas dari epos awal ini meningkat dan di dalam masyarakat modern digantikan oleh pola kehidupan yang jauh lebih konsisten. Contohnya adalah begitu tingginya peningkatan kebudayaan modern.Stimulasi intelektual yang sebelumnya terbatas pada pecakapan pada saat-saat tertentu atau pada buku-buku langka kini tersedia sepanjang waktu karena tersedianya buku dan majalah.
Pada akhirnya uang menjadi symbol dan factor utama dalam perkembangan mode ekstensi relativistic. Uang memungkinkan kita mereduksi fenomena yang sangat berbada menjadi sejumlah dolar, dan hal ini memungkinkannya diperbandingkan satu sama lain.dengan kata lain uang memungkinkan kita merelatifkan segalanya. Jalan hidup relativistic kita berlawanan dengan metode hidup sebelumnya, dimana orang percaya pada sejumlah kebenaran abadi. Ekonomi uang menghancurkan kebenaran abadi terebut. Keberhasilan orang dalam meningkatkan kebebasan dan melampaui gagasan mutlak semakin memakan ongkos. Alienasi yang menjdi endemic bagi menyebarnya kebudayaan objektif ekonomi uang modern, menurut pandangan simmel lebih mengancam ketimbang jahatnya absolutism. Mungkin simmel tidak berharap agar kita kembali pada masa sebelumnya yang lebih sederhana, namun jelas bahwa ia mengingatkan kita agar waspada akan ancaman bahaya yang dialokasikan dengan tumbuhnya ekonomi uang dan kebudayaan objektif di dunia modern.
Tragedy kebudayaan dalam konteks yang lebih luas. Birgitta Nedelmann (1991) menawarkan tafsir menarik tentang tragedy kebudayaan dalam konteks yang disebutnya sebagai tiga masalah kebudayaan Simmel.
Masalah pertama adalah nestapa budaya. Ini adalah akibat dari konflik antara individu sebagai pencipta kebudayaan dengan bentuk-bentuk budaya yang  bersifat tetap dan tanpa batasan waktu yang mereka hadapi. Kalau individu harus memenuhi kebutuhannya dengan menciptakan bentuk-bentuk budaya, pemenuhan tersebut semakin tidak mungkin terjadi, paling tidak sebagian karena system budaya tertinggal di belakang perkembangan kreativitas manusia. Respon individu terhadap dilemma ini adalah dengan mawas diri menyepi. Hal ini mengarah pada individualisasi kreativitas budaya. Namun nestapa terjadi karena kreativitas bagi seseorang tidak pernah memuaskan sebagaimana penciptaan bentuk budaya yang lebih besar.
Masalah kedua adalah kerancuan budaya. Dalam hal ini Simmel membedakan gaya denganseni. Gaya terkait dengan generalitas dengan ‘ elemen-elemen objek artistic yang sama’. Gaya melibatkan objek yang diciptakan oleh pengrajin, misalnya kursi atau gelas. Sebaliknya seni terkait dengan singularitas, dengan keunikan dan individualitas. Namun manusia modern’ menciptakan ketidakteratuan di ranah estetik’ dengan melihat objek kerajinan seolah-olah sebagai karya seni, namun ketika keduanya dicampurkan kemungkinan bagi terciptanya keseimbangan individu pada akhirnya berubah menjadi kondisi ideal yang tidak dapat direalisasikan.
Akhirnya dan yang terpenting adalah masalah tragedy kebudayaan. Nedelman menawarkan tafsir menarik terhadap gagasan ini. Ia menujukkan ini adalah satu tragedy, ketimbang sekedar kesedihan karena kehancuran social adalah akibat niscaya dari logika imanen.



5.    Pemikiran Sosiologis Herbert Spencer
Pemikiran Spencer mengenai evolusi masyarakat. Di waktu spencer belajar tentang gagasan Darwin ia bertekad untuk mengenakan prinsip evolusi yang tidak hanya pada bidang biologi, melainkan pada semua bidang pengetahuan lainnya. Proses evolusi masyarakat berawal dari  perorangan bergabung menjadi keluarga, keluarga bergabung menjadi kelompok, kelompok bergabung menjadi desa, desa menjadi kota, kota menjadi Negara, Negara menjadi perserikatan bangsa-bangsa.
Dalam bukunya yang berjudul first principles(1862) ia mengatakan bahwa kita harus bertitik tolak dari The low of the persistence of force yaitu perinsip ketahanan kekuatan. Artinya siapa yang kuat dialah yang menang dalam masyarakat. Teori spencer mengenai evolusi masyarakat merupakan bagian dari teorinya yang lebih umum mengenai evolusi seluruh jagat raya. Dalam bukunya social statics masyarakat disamakan dengan suatu organisme. Maksud spencer mengatakan bahwa masyarakat adalah organisme itu, dalam arti positivistis dan deterministis. Semua gejala social diterangkan berdasarkan suatu penentuan oleh hukum alam. Hukum yang memerintah atas proses pertumbuhan fisik badan manusia, memerintah juga atas proses evolusi social.
Menurut Spencer, masyarakat adalah organisme yang berdiri sendiri dan berevolusi sendiri lepas dari kemauan dan tanggung jawab anggotanya, dan dibawah kuasa suatu hukum. Latar belakang dari adanya gerak evolusi ini ialah lemahnya semua benda yang serba sama. Misalnya, dalam keadaan sendirian atau sebagai perorangan saja manusia tidak mungkin bertahan. Maka ia merasa diri didorong dari dalam untuk bergabung dengan orang lain, supaya dengan berbuat demikian ia akan dapat melengkapi kekurangannya.
Spencer membedakan empat tahap evolusi masyarakat:
a)    Tahap penggandaan atau pertambahan
Baik tiap-tiap mahluk individual maupun tiap-tiap orde social dalam keseluruhannya selalu bertumbuh dan bertambah
b)    Tahap kompleksifikasi
Salah satu akibat proses pertambahan adalah makin rumitnya struktur organisme yang bersangkutan. Struktur keorganisasian makin lama makin kompleks.
c)    Tahap Pembagian atau Diferensiasi
Evolusi masyarakat juga menonjolkan pembagian tugas atau fungsi, yang semakin berbeda-beda. Pembagian kerja menghasilkan pelapisan social (Stratifikasi). Masyarakat menjadi terbagi kedalam kelas-kelas social.
d)    Tahap pengintegrasian
Dengan mengingat bahwa proses diferensiasi mengakibatkan bahaya perpecahan, maka kecenderungan negative ini perlu dibendung dan diimbangi oleh proses yang mempersatukan. Pengintegrasian ini juga merupakan tahap dalam proses evolusi, yang bersifat alami dan spontan-otomatis. Manusia sendiri tidak perlu mengambil inisiatif atau berbuat sesuatu untuk mencapai integrasi ini. Sebaiknya ia tinggal pasif saja, supaya hukum evolusi dengan sendirinya menghasilkan keadaan kerjasama yang seimbang itu. Proses pengintegrasian masyarakat berlangsung seperti halnya dengan proses pengintegrasian antara anggota-anggota badan fisik Indonesia
Lahirnya Darwinisme Sosial
Pada tahun 1859 Charles Darwin (1809 – 1882) menerbitkan buku yang berjudul On the Origin of Species, atau the Preservation of Favoured Races in the Struggle for  Life yang membahas proses evolusi organism-organisme fisik. Konsep-konsep yang amat berpengaruh atas Darwinisme Sosial.
Pandangan Herbert Spencer dalam evolusi sosial terkenal dengan sebutan Darwinisme Sosial atau Social Darwinism. Herbert Spencer melihat ada kesamaan dalam teori evolusi darwin maka kadang manusia disebutnya sebagai organisme. Darwinisme Sosial menggambarkan bahwa perubahan dalam masyarakat berlangsung secara evolusioner (lama) yang dipengaruhi oleh kekuatan yang tidak dapat diubah oleh perilaku manusia.
Darwinisme Sosial dapat digolongkan ke dalam empat kelas, yaitu teori naluri, teori ras, teori determinisme, dan teori evolusi.
a)    Teori naluri
Menurut teori ini, kesatuan masyarakat dan koherensinya disebabkan oleh suatu kecenderungan biologis didalam diri manusia, yaitu suatu naluri social yang disebut herd instinct atau gregarious instinct (naluri kelompok) yang membuat manusai mengakui dan menyukai teman-teman sesama. Struggle for life senantiasa menonjol. Ia merasa diri mereka terancam oleh orang lain yang hendak memakai dia demi bisa bertahan hidup. Keadaan ini telah menyebabkan bahwa oleh alam sendiri membentuk badan fisik dan badan sosial.
b)    Teori Ras
Ludwig Gumplowicz merupakan seorang Yahudi yang dibesarkan dalam kancah dan suasana konflik antara golongan. Teorinya adalah teori perang, ia yakin bahwa telah menemukan didalam Darwinisme yang menyikap seluruh sejarah. Darwin telah membuktikan adanya evolusi biologis yang melalui tahap-tahap seleksi dan adaptasi. Teori ini diterapkan Gumplowicz pada sejarah yang sejarah adalah proses seleksi yang terus menerus, dimana golongan yang palig sehat dan kuat pada akhirnya selalu menang.
Negara-negara modern didirikan atas dasar bahasa dan agama. Jadi yang disebut bangsa merupakan kesatuan budaya, hal ini tidak terlalu konsisten dengan teorinya yang menerangkan kehidupan merupakan hasil hokum alam yaitu hasil konfrontasi. Jadi kita dapat menarik kesimpulan pada akhir hidup Gumplowicz pada akhirnya sedikit memperbaiki pandangan masyarakat yang Darwinistis dan telah mulai merintis suatu pandangan yang bercirikan budaya.
c)    Teori Determinisme
Diantara banyak teori monokausal yang bermaksud untuk mengembalikan seluruh kehidupan social kepada suatu faktor penyebab, teori determinisme Frederic Le Play pantas kita perhatikan. Le Play kelahiran perancis dan seoarang insinyur pertambangan, sejak masa mudanya menaruh minat besar terhadap masalah adat dan nilai-nilai budaya terdisional. Sama seperti Comte, ia juga menginginkan memulihkan keadaan ketertiban dalam negerinya. Namun ia menghadapi masalah bagaimana cara mengembalikan orang-orang merasa aman., sama seperti Comte ia berpendapat jawaban atas masalah itu adalah menyakut keluarga. Struktur keluarga dan pola relasi-relasi kekeluargaan lagsung menentukan apakah masyarakat terdiri bukan dari individu-individu melainkan dari keluarga-keluarga.
Ia membedakan tiga tipe keluarga yang bersifat dasar. Pertama tipe famili patriarkal yang kokoh dan fungsional bagi masyarakat-masyarkat pengembala. Tipe Kedua ialah famili tidak stabil yang mirip dengan keluarga yang sekarang disebut keluarga inti. Tipe ini agak goyah karena kurang berdaya dalam menghadap kesulitan ekonomi. Umumnya tipe ini dijumpai dikalangan kaum buruh industry tetapi juga dikalangan kelas tinggi sebagai akibat hokum waris. Tipe ketiga yang disebut family pangkal ( stem family atau famille souche) merupakan semacam keluraga patriarchal dimana hanya ada satu orang ahli waris yang tinggal menetap di rumahyang lain menerima mas kawin supaya dapat menetap ditempat lain. Namun demikian bagi mereka juga rumah orang tua merupakan pusat seremonial atau rumah adat, dimana mereka berkumpul pada kesempatan tertentu.
d)    Teori-teori evolusi
Terlebih dahulu kita harus membedakan konsep-konsep evolusi , pembangunan (development), dan kemajuan (progress) . Kalau kata memakai konsep evolusi , kita menoleh ke belakang, yaitu ke suatu keadaan dahulu, lalu menelusuri tahap-tahap pendahuluan yang telah dilalui sebelum sampai kepada keadaan sekarang.
Di bawah ini kita akan meninjau tiga teori evolusi dari abad lampau, yaitu evolusionisme, involusionisme, dan teori sinkretistis.
i.    Evolusionisme
Dalam arti kata yang sempit evolusionisme berarti proses peningkatan ke arah tercapainya keadaan yang lebih sempurna. Istilahnya mengungkapkan nada harapan dan optimisme. Sebagai contoh kami menyebut nama Leonard T. Hobhouse (1864-1929). Ia telah mengarang antara lain Mind and Evolution. Morals and Evolution (1906) dan Social Development (1924). Dari segi Sosiologi buku terakhir ini penting. Ia menolak teori evolusi ekstrem yang langsung menerapkan konsep-konsep Darwin. Ia berpendapat bahwa teori evolusi yang ekstrem tidak mungkin menghasilkan pengertian baik tentang masyarakat. Sebaliknya pengertian dikaburkan! Itu sebabnya Hobhouse mencoba untuk menyususn sejumlah ukuran atau indicator obyektif bagi evolsi suatu masyarakat.
ii.    Involusionisme
Kata ”involusi” berarti kemunduran. Jadi Involusionisme adalah ajaran, bahwa manusia mengalami kemunduran. Caranya ia memecahkan masalah kehidupan dan kebudayaannya tidak senantiasa menunjukan kemajuan yang teru-menerus.
Sosiolog Prancis, yang bernama Vacher de Lapouge, dalam bukunya Les Selections Sociales mengatakan, bahwa proses pembudayaan semakin menjauhkan dan mengasingkan manusia dari alam. Terpengaruh oleh Rousseau dan pengikutnya dari zaman Romantik dan program mereka berupa “kembalilah kepada alam!” ia mengajar bahwa alam berarti “evolusi’ , sedangkan kebudayaan berarti “involusi”. Pada pokoknya tiap-tiap kebudayaan bersifat antisosial. Kebudayaan tidak mengejewantahkan sosialitas manusia dan tidak merupakan tanda kebebasannya dan kehormatannya. Sebaliknya, kebudayaan menghambat dan merusak tiap-tiap evolusi dan perkembangan yang sejati.
iii.    Teori-teori sinkretistis
Nicholas Danilevski (1822-1885), seorang Rusia, pada tahun 1869 menerbitkan buku yang berjudul Russia dan Europa. Ia menyebut tiga peradaban besar dalam sejarah dunia, yang masing-masing pernah mempunyai riwayat hidup yang kuranglebih sama dengan hidupnya organisme, yaitu masa muda, masa dewasa, dan masa runtuh. Tiap-tiap perbedaan mengembangkan ciri-cirinya yang unik dan istimewa di waktu mereka dewasa. Misalnya, masyarakat Yunani menjadi unik di bidang kesenian dan filsafat, masyarakat Romawi di bidang hukum dan organisasi politik
Perbedaan masyarakat versi Spencer militant versi industrial
Spencer juga membuat pengelompokan tipe-tipe masyarakat berdasarkan ciri-ciri mereka. Ia membedakan antara dua bentuk kehidupan bersama, yakni masyarakat militaristis dan masyarakat industry. Dalam masyarakat militaristis orang bersikap agresif, Mereka lebih suka merampas saja daripada bekerja produktif untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kepemimpinan atas tipe masyarakat ini berada ditangan orang yang kuat dan mahir di bidang peperangan atau pertempuran. Ia mempertahankan kekuasaanya dengan tangan besi, senjata dan melalui takhayul.
Masyarakat industry adalah masyarakat dimana kerja produktif dengan cara damai diutamakan di atas ekspedisi-ekspedisi perang. Spencer memakai kata “industry” bukan untuk tekhnologi melainkan dalam arti kerja sama spontan bebas demi tujuan daamai. Cirri-cirinya adalah demokrasi, adanya kontrak kerja yang mengganti sistem budak, liberali9sme dalam hal memilih agama, ada otonomi individu. Spencer berpendapat bahwa evolusi masyarakat industry ada kaitanya dengan sel-sel kelamin manusia yang sedikit demi sedikit mengalami perubahan dan peningkatan mutu. Menurut  hemat spencer, kedua tipe masyarakat bertentangan satu terhadap yang lain dalam arti bahwa mereka saling menolak. Dengan teori ini Spencer menjadi penyambung lidahzaman yang amat optimism terhadap iktikad baik individu. Dalam bukunya The Man Versus the state Spencer menarik beberapa kesimpulan dari thesisnya, bahwa masyarakat industry harus di lihat sebagai pembebasan manusia dari cengkeraman Negara dan agama, yang kedua-duanya bersifat absolutistis.
Pemikiran tentang nir-intervensi dan survival of the fittest
Pada tahun 1850 Herbert Spencer mengenalkan Survival of The Fittest dalam buku Sosial Static, dia yakin bahwa kekuatan power hidup manusia adalah sarana untul menghadapi ujian hidup serta menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan social maupun fisik. Seleksi alam ‘yang kuatlah yang menang’ menjadi prasyaarat manusia menuju puncak kesempurnaan dan kebahagiaan.
Survival oh The Fittest merupakan istilah yang digunakan oleh Spencer untuk menunjuk pada perubahan yang terjadi di dalam dunia sosial. Dalam hal ini ungkapan tersebut sebenarnya digunakan untuk menunjuk pada proses seleksi alam, akan tetapi Spencer menerima pandangan seleksi alam juga terjadi di dalam dunia social. Spencer menerima pandangan ini karena ia merupakan seorang Darwinis sosial. Jadi ia meyakini pandangan evolusi bahwa dunia tumbuh semakin baik. Dengan demikian, dunia harus dibiarkan begitu saja; campur tangan pihak luar akan memperburuk situasi ini. Jadi jika tidak dihambat oleh intervensi eksternal, orang yang kuat akan bertahan hidup dan berkembang biak, sementara yang lemah pada akhirnya akan punah.
Darwinisme sosial menggambarkan bahwa perubahan dalam masyarakat berlangsung secara evolusioner (lama) yang dipengaruhi oleh kekuatan yang tidak dapat diubah oleh perilaku manusia. Individu menjadi poros utama perubahan. Meski masyarakat dapat dianalisis secara struktural, namun individu pribadi adalah dasar dari struktur social, karena Spencer memandang sosiologi sebagai ilmu pengetahuan mengenai hakikat manusia secara inkoporatif. Struktur social dibangun untuk memenuhi keperluan anggotanya. Teori Spencer mengedepankan perjuangan hidup dan karenanya sangat cocok dengan perkembangan kapitalisme, liberalisme, dan individualism



6.    Pemikiran Sosiologis Karl Marx Mengenai Dialektika, Teori Kelas Sosial, Determinisme Ekonomi, Kritik Masyarakat, Materialisme Sejarah Dan Kritik Terhadap Kapitalisme
Karl Marx lahir di Trier, Prussia tanggal 5 Mei 1818. Ayahnya seorang pengacara, memberikan nuansa kehidupan kelas menengah pada keluarganya. Kedua orang tuanya berasal dari keluarga rabi, namun karena alasan bisnis ayahnya berganti agama menjadi Lutherian ketika Karl Marx masih sangat muda. Pada tahun 1841 Marx memperoleh gelar Doktor Filsafatnya dari Universits Berlin, seolah yang sangat dipengaruhi Hegel dan para hegelianmuda yang begitu suportif, namun kritis terhadap guru mereka. Disertasi Doktoral Marx hanyalah satu risalah filosofis yang hambar, namun hal ini mengantisipasi banyak gagasannya kemudian. Setelah lulus ia menjadi penulis di koran radikal-liberal dan dalam  kurun waktu 10 bulan menjadi editor kepala. Namun, kareana posisipolitisnya, koran ini ditutup 10 bulan kemudian oleh pemerintah. Esai-esai awal yang dipublikasikan pada periode itu mulai merefleksikan sejumlah pandangan-pandangan yang akan mengarahkan Marx sepanjang hidupnya. Dengan bebas, esai-esai tersebut menyebarkan prinsip-prinsip demokrasi, humanisme, dab idealisme muda. Ia menolak sifat abstrak filsafat Hegelin, impian naif komunis-utopis, dan para aktifis yang menyerukan hal-hal yang dipandangnya sebagai aksi politik prematur. Ketika menolak aktifis-aktifis tersebut, Marx meletakkan karya abadinya:
upaya praktis, dilakukan massa, dapat  dijawab dengan meriam begitu upaya-upaya tersebut membahayakan, namun gagasan-gagasan yang telah melampaui intelektualitas dan mengalahkan keyakinan kita, gagasan-gagasan yang karena alasan tersebut telah membelenggu kesadaran kita, adalah rantai yang tidak dapat dilepaskan orang tanpa mematahkan hatinya, itu semua adalah hantu yang hanya dapat diklahkan orang dengan cara tunduk kepadanya.
Marx menikah tahun 1843 dan segera terpaksa meninggalkan Jerman untuk mencari atmosfer yang lebih liberal di Paris. Di sana ia terus mengaut gagasan Hegel dan para pendukungnya, namun ia juga mengalami dua gagasan baru- sosialisme Prancis dan ekonomi politik Inggris, inilah cara uniknya mengawinkan Hegelianisme, sosialisme, dengan ekonomi politik yang memabangun orientasi intelektualnya. Yang sama pentingnya adalah pertemuannya dengan orang yang menjadi sahabat sepanjang hayatnya, penopang finansialnya, dan kolabolatornya Friedrich Engels (Carver,1983). Engels menjadi seorang sosialis yang bersikap kritis terhadap kondisi yang dihadapi kelas pekerja. Pada tahun 1844 Engels dan Marx berbincang lama, dalam percakapan itu Engels mengatakan “Persetujuan penuh kita atas arena teoretis telah menjadi gambling dan kerja sama kita berasal dari sini. Tahun berikutnya Engels memublikasikan satu karya penting. The Condition of the Working Class in England. Selama masa itu Marx menulis sejumlah karya rumit (banyak diantaranya tidak dipublikasikan sepanjang hayatnya). Termasuk The Holy Family and The German Ideology (keduanya ditulis bersama dengan Engels), namun ia pun menulis The Economic and Philoshopic Manuscripts of 1844, yang memayungi perhatiannya yang semakin meningkat terhadap ranah ekonomi.
Sebenarnya, banyak orang percaya bahwa Engels sering gagal memahami kejelian karyanya Marx (C. Smith,1997). Setelah kematian Marx, Engels menjadi juru bicara terkemuka bagi teori Marxian. Karena beberapa tulisannya meresahkan Pemerintah Prussia, Pemerintah Prancis (atas permintaan Pemerinta Prussia) mengusir Marx pada tahun 1845, dan ia berpindah ke Brussel. Radikalismenya tumbuh, dan ia menjadi anggota aktif gerakan revolusioner internasional.
Pada tahun 1849 Marx pindah ke London, dan karena kegagalan revolusi politiknya pada tahun 1848, ia mulai menarik diri dari aktivitas revolusioner aktif dan beralih ke penelitian yang lebih serius dan terperinci tentang bekerjanya sistem kapitalis. Pada tahun 1952, ia mulai studi terkenalnya tentang kondisi kerja dalam kapitalisme di British Museum.    
Studi-studi ini akhirnya menghasilkan tiga jilid buku Capital, yang jilid pertamanya terbit pada tahun 1867, dua jilid yang lain terbit setelah ia meninggal. Ia hidup miskin selama tahun-tahun itu, dan hampir tidak mampu bertahan hidup dengan sedikitnya pendapatan dari tulisan-tulisannya dan dari bantuan Engels. Pada tahun 1864 Marx terlibat dalam aktivitas politik dengan bergabung dengan International, pekerja internasional. Ia segera mengemuka dalam gerakan ini dan menghabiskan selama beberapa tahun di dalamnya. Ia mulai meraih ketenaran baik sebagai pemimpin International maupun sebagai penulis buku Capital. Namun disintegrasi yang dialami International pada tahun 1876, gagalnya sejumlah gerakan revolusioner, dan penyakit yang dideritanya menandai akhir karier Marx. Istrinya meninggal pada tahun 1881, anak perempuannya tahun 1882, dan Marx sendiri pada tanggal 14 Maret 1883.
Dialektika adalah kerangka berpikir dan citra dunia. Di satu sisi, dialektika adalah kerangka berpikir yang menekankan pentingnya proses, hubungan, dinamika, konflik, dan kontradiksi suatu kerangka berpikir yang dinamis ketimbang statis tentang dunia.
Fokus Marx pada kontradiksi-kontradiksi yang benar-benar ada, membawa dia kepada suatu metode khusus untuk mempelajari fenomena sosial yang disebut dialetika (Ball, 1991: Friedrichs, 1972: Ollman, 1976: Scheinder,1971).
1.    Fakta dan Nilai
Dalam analisis dialektis, nilai-nilai sosial tidak dapat dipisahkan dari fakta-fakta sosial. Kebanyakan sosiolog menganggap nilai-nilai mereka bisa dan bahkan harus dipisahkan dari studi mereka terhadap fakta-fakta dunia sosial. Namun pemikir dialektis percaya bahwa bukan hanya tidak mungkin untuk membiarkan nilai-nilai tidak terlibat dalam studi terhadap dunia sosial, tetapi juga tidak diinginkan, karena hal itu akan menghasikan suatu sikap ketakberpihakan, sosiologi yang tidak manusia yang hanya menawarkan sedikit hal kepada orang dalam mencari jawaban-jawaban atas problem-problem yang mereka hadapi. Fakta-fakta dan nilai-nilai saling terkait, oleh karena itu fenomena sosial itu sarat nilai (value-laden). Ketika Marx terlibat secara emosional pada apa yang tengah dia pelajari, itu bukan berarti observasi-observasinya tidak akurat. Bahkan bisa dinyatakan bahwa pandangan Marx yang berpihak pada isu-isu ini memberinya pengertian yang tidak paralel terhadap hakikat masyarakat kapitalis.
2.    Hubungan Timbal Balik
Metode analisis dialektik bukanlah hubungan sebab akibat sederhana dan satu arah antar bagian-bagian dunia sosial. Bagi pemikir dialektis, pengaruh-pengaruh sosial tidak pernah secara sederhana mengalir di satu arah sebagaimana yang diadaikan para pemikir sebab akibat. Bagi dialektikawan, satu faktor mungkin memang berpengaruh pada faktor lain, namun faktor lain ini juga akan berpengaruh pada faktor pertama. Misalnya meningkatnya eksploitasi terhadap para pekerja oleh kapitalis barangkali menyebabkan para pekerja semakin tidak puas dan lebih militan, tetapi peningkatan militansi proletariat juga mungkin akan menyebabkan kapitalis beraksi dengan menjadi makin eksploitatif agar resistansi para pekerja ditakhlukan.   
3.    Masa Lalu, Masa Sekarang, dan Masa Depan
Para dialektikawan tidak hanya tertarik pada hubungan fenomena-fenomena sosial pada dunia kontemporer, tetapi juga tertarik pada hubungan realitas-realitas kontemporer tersebut dengan fenomena-fenomena sosial masa lalu (Bauman, 1976: 81) dan masa yang akan datang. Hal ini memiliki dua implikasi yang terpisah terhadap sosiologi dialektis. Pertama, ia berarti bahwa para sosiolog dialektis bergelut mempelajari akar-akar historis dunia kontemporer sebagaimana yang dilakukan oleh Marx (1857-58/1964) dalam studinya terhadap sumber-sumber kapitalisme modern. Dan memang para pemikir Dialektis sangat kritis terhadap sosiologi modern karena kegagalannya melakukan banyak penelitian historis. Dalam hal ini ada contoh yang menarik dalam pemikiran Marx yang ditemukan dalam kutipan dari The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte:
Manusia menciptakan sejarah mereka sendiri, tetapi mereka tidak menciptakannya sebagaimana yang mereka senangi; mereka tidak menciptakannya dalam keadaan dimana mereka bisa memilih sendiri; tetapi dalam keadaan yang secara langsung bertemu dari masa lalu. Tradisi dari semua generasi yang telah meninggal, menghimpit seperti sebuah mimpi buruk dalam otak kehidupan.
Kedua, banyak pemikir dialektis menyesuaikan diri dengan tren sosial masa sekarang untuk memahami arah yang mungkin bagi masyarakat di masa depan. Para dialektikawan yakin bahwa bagaimana sesungguhnya dunia masa depan ini hanya bisa dilihat melalui studi yang hati-hati terhadap dunia kontemporer. Inilah pandangan mereka yang menyatakan sumber-sumber masa depan terdapat di masa sekarang.
4.    Tidak Ada yang Tidak Dapat Dielakkan
Pandangan dialektis yang melihat adanya hubungan antara masa sekarang dengan masa yang akan datang bukan berarti masa datang ditentukan oleh masa sekarang.
5.    Aktor dan Struktur
Para pemikir dialektis juga tertarik pada dinamika hubungan aktor dan struktur sosial. Marx tentu saja sudah mengenal saling pengaruh yang terus terjadi antara level-level utama analisis sosial. Inti pemikiran Marx berada pada hubungan antara manusia dan struktur struktur skala luas yang mereka ciptakan (Lefebvre, 1968: 8). Di satu sisi, struktur-struktur skala luas ini membantu manusia untuk memenuhi kebutuhan diri mereka; di sisi lain, dia mempresentasikan suatu ancaman yang menakutkan terhadap umat manusia. Namun, metode dialektis bahkan lebih kompleks dari ini, karena sebagaimana yang telah kita lihat, para dialektikawan mengakui keadaan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang, dan hal ini juga berlaku untuk aktor-aktor dan struktur-struktur.
Konsep Marx tentang Manusia (humanisme)
a)    Sifat Dasar Manusia
Bagi Marx, konsepsi tentang sifat dasar manusia yang tidak memperhitungkan faktor-faktor sosial dan sejarah adalah salah, akan tetapi melibatkan faktor-faktor itu juga tidak sama dengan tidak menggunakan konsepsi tentang sifat dasar manusia sama sekali. Marx sering menggunakan istilah species being. Yang dia maksud adalah potensi-potensi dan kekuatan-kekuatan yang unik yang membedakan kita dengan spesies yang lain.
Sebagaian Marxis, seperti Louis Althusser (1969: 229), berpendapat bahwa Marx dewasa tidak meyakini adanya sifat dasar manusia apa pun. Tentu saja ada alasan-alasan untuk menganggap sifat dasar manusia tidak penting bagi seseorang yang tertarik mengubah masyarakat. Ide-ide tentang sifat dasar manusia seperti ketamakan, kecenderungan pada kekerasan, perbedaan gender “alamiah” kita sering digunakan untuk menentang perubahan sosial apa pun. Konsepsi-konsepsi sifat dasar manusia itu konservatif. Jika problem-problem kita disebabkan oleh sifat dasar kita, maka kita lebih baik belajar untuk membiasakan diri untuk mencoba mengubah segala sesuatu.
Meskipun demukian, jelas sekali bahwa Marx memiliki konsep sifat dasar manusia (Geras, 1983). Beberapa konsepsi tentang sifat dasar manusia adalah bagian dari teori sosiologi. Konsep kita tentang sifat dasar manusia mendikte bagaimana masyarakat bisa disokong dan diubah, akan tetapi yang paling penting bagi teori Marx adalah, anjurannya bagaimana masyarakat harus diubah.
b)    Kerja
Bagi Marx, spesies manusia dan sifat dasarnya terkait erat dengan kerja. Bagian penting pandangan Marx tentang hubungan antara kerja dan sifat dasar manusia diantaranya, pertama, yang membedakan kita dengan binatang adalah bahwa kerja kita mewujudkan suatu hal di dalam realitas yang sebelumnya hanya ada di dalam imajinasi. Produksi kita merefleksikan tujuan kita. Marx menyebut proses di mana kita menciptakan objek-objek eksternal di luar pikiran internal kita dengan objektivikasi. Kedua, kerja ini bersifat material. Ia bekerja dengan alam material untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan material kita. Ketiga, Marx percaya bahwa kerja ini tidak hanya mengubah alam, tetapi juga mengubah kita, termasuk kebutuhan, kesadaran, dan sifat dasar kita. Kerja, oleh karena itu, pada saat yang sama merupakan (1) obyektivikasi tujuan kita, (2) pembentukan suatu relasi yang esensial antara kebutuhan manusia dengan obyek-obyek material kebutuhan kita, dan (3) transformasi sifat dasar kita.
c)    Alienasi
Walaupun Marx percaya bahwa ada hubungan yang inheren antara kerja dan sifat dasar manusia, tetapi dia juga berpendapat kalau hubungan ini telah diselewengkan oleh kapitalisme. Dia menyebut hubungan yang diselewengkan ini dengan alienasi.
Walaupun individulah yang mengalami alienasi dalam masyarakat kapitalis, fokus analitis dasar Marx adalah struktur kapitalisme yang jadi biang alienasi ini (Israel, 1971). Marx menggunakan konsep alienasi untuk menyatakan pengaruh produksi kapitalis terhadap manusia dan terhadap masyarakat. Hal terpenting yang patut dicatat di sini adalah sistem dua kelas di mana kapitalis menggunakan dan memperlakukan para pekerja (dan dengan cara demikian, waktu kerja mereka) dan alat-alat produksi mereka (alat-alat dan bahan mentah) sebagaimana produk-produk akhir dan para pekerja dipaksa menjual waktu kerja mereka kepada kapitalis agar mereka bisa bertahan.
Teori Kelas Sosial
Teori kelas dari Marx berdasarkan pemikiran bahwa: “sejarah dari segala bentuk masyarakat dari dahulu hingga sekarang adalah sejarah pertikaian antar golongan”. Menurut pandangannya, sejak masyarakat manusia mulai dari bentuknya yang primitif secara relatif tidak berbeda satu sama lain, masyarakat itu tetap mempunyai perbedaan-perbedaan fundamental antara golongan yang bertikai di dalam mengejar kepentingan masing-masing golongannya. Dalam dunia kapitalisme misalnya, inti dari kapitalisme yaitu pabrik lebih merupakan tempat utama terjadinya pertentangan-pertentangan antara golongan yaitu mereka yang mengeksploitir dan mereka yang dieksploitir, antara pembeli dan penjual dan antara buruh dan majikan; daripada merupakan tempat terjadinya kerja sama yang fungsional. Kepentingan golongan serta konfrontasi fisik yang ditimbulkannya adalah merupakan faktor utama dari proses sosial di dalam sejarah.
Analisis Marx selalu mengemukakan bagaimana hubungan antara manusia terjadi dilihat dari hubungan antara posisi masing-masing terhadap sarana-sarana produksi, yaitu dilihat dari usaha yang berbeda dalam mendapatkan sumber- sumber daya yang langka. Ia mencatat bahwa perbedaan atas sarana tidak selalu menjadi penyebab pertikaian antar golongan. Tetapi dia membenarkan bahwa tiap golongan masyarakat mempunyai cara khas yang dapat menimbulkan konflik antar golongan karena masyarakat secara sistematis menghasilkan perbedaan pendapat antara orang-orang atau golongan yang berbeda tempat atau posisinya di dalam suatu struktur sosial dan lebih penting lagi dalam hubungannya dengan sarana produksi. Marx memiliki anggapan yang begitu kuat bahwa posisi di dalam struktur sedemikian ini selalu mendorong mereka untuk melakukan tindakan  yang bertujuan untuk memperbaiki nasib mereka.
Meskipun demikian, sesungguhnya kepentingan golongan di dalam sosiologi Marx tidak dianggap sebagai sesuatu yang paling utama. Orang-orang berkembang di bawah lindungan orang-orang lain yang menduduki posisi sosial tertentu dan menuju ke arah keadaan sosial tertentu pula. Demikian yang terjadi di dalam perusahaan industri pada mulanya dimana pertikaian telah memecah kepentingan personal dari sekelompok orang-orang yang tidak saling mengenal satu sama lain. tetapi demi mempertahankan upah mereka, kepentingan personal yang terpilih itu berkembang menjadi kepentingan bersama untuk menghadapi para majikan mereka, dan kepentingan bersama inilah yang mempersatukan mereka itu. Denga kata lain Marx hendak mengatakan bahwa manusia sebagai orang perorang hanya akan bergabung untuk membentuk suatu barisan (front) apabila harus melakukan konfrontasi terhadap golongan lain. kalua tidak, mereka akan hidup saling bertentangan satu sama lain dan selalu di dalam suasana bermusuhan.
Kemampuan kepentingan bersama (common interest) dari anggota-anggota satu lapisan sosial tertentu diperoleh dari lapisan sosial itu juga dari kedudukan lapisan sosial itu di dalam struktur sosial dan hubungan-hubungan produksi. Hanya orang-orang yang berkedudukan sama yang terlibat di dalam pertikaian akan mengubah pengertian “klase an sich” (kelas pada hakekatnya) menjadi “klasse fur sich” (kelas untuk kepentingan pribadi) dimana orang-orang itu akan terlibat di dalam perjuangan bersama dan oleh karenanya mereka menjadi sadar akan nasib yang menimpa mereka.
Meskipun sejumlah orang menempati posisi yang sama dalam proses produksi dan meskipun secara obyektif mereka mempunyai tujuan yang sama, hanya dengan mempersatukan diri mereka mampu membentuk suatu kesadaran kelas dan yang merupakan suatu badan yang menentukan sejarah, apabila mereka menyadari akan kebersamaan kepentingannya melalui konflik-konflik dengan kelas-kelas oposisi.
Bagi Marx, dasar dari sistem stratifikasi adalah tergantung dari hubungan kelompok-kelompok manusia terhadap sarana produksi. Yang termasuk ke dalam kelas modern yang terpenting hanyalah mereka yang bisa disebut “pemilik tenaga kerja”, pemilik modal, dan tuan-tuan tanah yang sumber keuangannya yang terpenting tergantung dari penerimaan upah, laba dan sewa tanah. Yang disebut kelas dalam hal ini adalah suatu kelompok orang-orang yang mempunyai fungsi dan tujuan yang sama dalam organisasi produksi. Meskipun demikian, sebagaimana dapat dilihat bahwa dari kelompok yang mempunyai nasib yang sama kelas-kelas yang memiliki kesadaran diri memerlukan sejumlah kondisi tertentu untuk menjamin kelangsungannya, yaitu mereka memerlukan adanya suatu jaringan komunikasi di antara mereka, memusatkan massa rakyat, serta kesadaran akan adanya musuh bersama dan adanya suatu bentuk organisasi yang rapi. Kesadaran kelas hanya akan dan dapat tumbuh bila ada titik temu yang ideal terhadap materi, yaitu kombinasi antara permintaan ekonomi dan politis dengan permintaan moral dan ideologis.
Dengan cara berpikir yang sama, Marx mengemukakan pernyataan bahwa kelas pekerja (kaum buruh) harus mengembangkan kesadaran kelas, apabila kondisi tertentu yang dibutuhkan untuk itu telah ada dan mendorong untuk menyatakan bahwa kaum borjuis tidak mampu mengembangkan kesadaran yang sama bagi kepentingan kolektif mereka karena adanya persaingan yang ketat antara produsen-produsen kapitalis.
Analisis Sosiologis Marx Berdasarkan Faktor Ekonomi (Determinisme Ekonomi)
Dari pandangan ekonomi klasik dapat dilihat gambaran sistem ekonomi pasar sebagai sesuatu keadaan dimana setiap orang bekerja hanya untuk kepentingan dirinya sendiri dan hanya mengejar tambahan keuntungan sendiri. Dia dengan kenyataan sedemikian ini bagaimanapun juga telah turut menunjang tercapainya haromoni keseluruhan masyarakat. Tetapi berbeda dengan kenyataan sedemikian itu, kata Marx ,adalah pendapat Raymond Aron yang mengatakan bahwa: “Tiap orang yang bekerja untuk kepentingannya sendiri, sesungguhnya telah mengambil bagian yang kontradiktif yaitu dalam kepentingannya yang fungsional dan sekaligus penggerogotan terhadap kekuasaan. Juga  berlawanan dengan kepentingan para “utilitarian” yang mengartikan kepentingan diri sendiri sebagai pengatur masyarakat yang harmonis. Marx melihat kepentingan diri sendiri di antara kaum kapitalis sebagai suatu tenaga destruksip yang menggerogoti kepentingan kelas yang pada umumnya sebagai sesuatu yang merusak kapitalisme. Tetapi adalah suatu kenyataan pahit kata Marx bahwa semua kaum kapitalis secara sadar bekerja untuk kepentingan diri mereka masing-masing dan telah menimbulkan krisis ekonomi yang makin hebat dan selanjutnya merusak kepentingan masyarakat umum. Kondisi kerja serta peranan yang diembannya, telah mengikat kaum buruh untuk solider satu sama lain dan juga untuk mengatasi persaingan antar kawan dengan tujuan untuk melakukan perlawanan atau tindakan bersama demi kepentingan bersama kelasnya. Sebaliknya kaum kapitalis yang terdesak oleh persaingan pasar berada dalam posisi yang sulit yang tidak memungkinkan mereka menuntut terlalu banyak dari kepentingan masyarakat umum. Keadaan pasar serta persaingan produksi sebagai ciri khas kapitalisme, cenderung untk memisahkan para produsen satu sama lain. Marx mengakui bahwa kaum kapitalis memungkinkan besar akan lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, tetapi kepentingan ini lebih bersifat politis dari pada kepentingan ekonomis. Kaum kapitalis yang terpecah belah oleh persaingan ekonomis antar golongannya sendiri akan mengembangkan suatu ideologi yang sesuai dengan sistem politik yang dominan demi kepentingan mereka bersama, sehingga kekuatan serta ideologi politik mempunyai fungsi yang sama bagi kaum kapitalis sebagaimana kesadaran kelas berarti bagi kaum buruh.
Bagi Marx, faktor ekonomi adalah faktor penentu yang paling akhir, di mana kaum borjuis selalu menjadi korban dari persaingan yang sudah menjadi sifat dari semua kehidupan eksistensi ekonomi. Kenyataan sedemikian ini sesungguhnya dapat mengembangkan suatu bentuk kesadaran, tetapi kesadaran itu hanyalah merupakan kesadaran palsu, artinya kesadaran yang tak lebih dari keterkaitannya pada salah satu cara berproduksi yang secara ekonomis saling bersaingan. Oleh karena itulah, baik kaum borjuis sebagai suatu kelas di dalam masyarakat, negara borjuis ataupun ideologi borjuis, semuanya tidak dapat dipakai sebagai penyalur untuk menghilangkan kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri yang dipunyai kaum borjuis. Pemerintah borjuis pasti akan runtuh apabila semangat ekonomi telah matang dan apabila kaum buruh yang sadar akan kepentingan bersama mereka dan diperkuat dengan sistem yang tepat untuk membangun ide-ide mereka, bergabung dengan solidaritas yang kuat untuk bersama-sama menghadapi lawan mereka yang terpecah belah. Sekali kaum buruh sadar bahwa mereka dikucilkan dari proses produksi serta, tidak diikut sertakandalam sistem ekonomi, maka era kapitalisme telah memasuki masa keruntuhannya, dan itu berarti telah memasuki masa akhir kejayaannya.
Materialisme Sejarah
Materialisme Sejarah merupakan suatu pendekatan metodologis untuk mempelajari masyarakat, ekonomi, dan sejarah. Materialisme historis mencari penyebab perkembangan dan perubahan dalam masyarakat manusia dalam cara-cara yang manusia secara kolektif menghasilkan kebutuhan hidup. Non-ekonomi fitur masyarakat (kelas sosial misalnya, struktur politik, ideologi) dilihat sebagai hasil dari kegiatan ekonomi.
Perdebatan mengenai relevansi tulisan-tulisan marx dalam tahun 1843 dan tahun 1844 terhadap konsepsinya yang matang mengenai materialisme sejarah, mulai berkurang sejak diternitkannya pada tahun 1929-1932. Pertentangan ini jelas mempunyai akibat langsung yang bersifat politik dan agaknya sukar untuk berharap bahwa butiran-butiran yang dipersoalkan dapat dipecahkan dengan memuaskan semua pihak yang terlibat. Akan tetapi kenyataan ialah bahwa garis-garis utama yang menunjukan kesinambungan antara “Kritik” Hegel, Naskah-naskah 1844 dan pemikiran Marx yang telah matang, nampak jelas. Karya yang pertama yang diciptakan oleh asosiasi Marx dan Engels, yaitu Keluarga Kudu (The Holy Family) yang dipublikasikan sekitar tahun 1844-1845. Buku ini menjelaskan bahwa putusnya hubungan marx dengan pemuda-pemuda pengikut Heggel. Kemudian karya selanjutnya yang berjudul Ideologi Jerman(The German Ideology)yang dituliskan pada tahun 1845-1846 yang menjelaskan bahwa kritik marx mengenai prinsip-prinsip materialisme sejarah, Sejak itu pemikiran Marx tidak banyak berubah. Tema-tema yang telah dikembangkan Marx di dalam karya-karya dininya dan terwujud pada karyanya dikemudian hari sebagi berikut :
a)    Konsepsi untuk mana Marx sagnat berutang budi kepada Hegel mengenai “Swa penciptaan” (self-creation) manusia yang progresif. Sebagaimana yang diungkapkan Marx di dalam naskahnya pada tahun 1844 yaitu ‘keseluruhan yang disebut sejarah dunia, tidak lain adalah penciptaan manusia oleh usaha manusia.
b)    Gagasan tentang Keterasingan. Untuk memisahkan antara dirinya secara tegas dari filsafat abstrak, Marx menanggalkan istilah ‘Keterasingan’ dalam tulisannya  pada tahun 1844. Dalam manifesto Komunisme pada tahun 1844, Marx menulis serta mengejek tentang ‘filsafat omong kosong’ dari para ahli filsafat jerman, yang menuliskan tentang ‘ketersaingan dari Hakekat Manusia’. Masyarakat pemburu-pengumpul yang terstruktur sehingga kekuatan-kekuatan ekonomi dan kekuatan politik adalah satu dan sama. Unsur-unsur kekuatan dan hubungan dioperasikan bersama-sama, harmonis. Dalam masyarakat feodal, kekuatan politik para raja dan bangsawan memiliki hubungan mereka dengan kekuatan ekonomi desa melalui perhambaan. Para budak, meskipun tidak bebas, terikat untuk kedua pasukan dan, dengan demikian, tidak sepenuhnya terasing. Kapitalisme, Marx berpendapat, benar-benar memisahkan kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik, meninggalkan mereka untuk memiliki hubungan melalui pemerintah membatasi. Dia mengambil negara untuk menjadi tanda pemisahan ini - itu ada untuk mengelola konflik kepentingan besar yang timbul antara kelas-kelas di semua masyarakat didasarkan pada hubungan properti.
c)    Intisari dari teori mengenai negara serta pembahasan khusunya didalam bentuk masyarakat dikemudia hari, sebagaimana dikemukakan dalam ‘kritik’ marx atas filasafat Hegel mengenai negara. Walaupun Marx pada saat menulis ‘Kritik’ hanya mempunyai suatu konsep kasar dari orde sosial yang diharapkan dan di duga akan menggatikan kapitalisme, tesis, bahwa penghapusan negara dapat dicapai dengan cara menyingkirkan lingkungan terpisah dari ‘politik’.
d)    Dasar-dasar utama dari materialisme sejarah, sebagai suatu persepektif untuk analisa perkembangan sosial. Kendati marx sering menulis dalam bahasa hegel dan Feuerbach dalam karya dininya, namun sangat jelas bahwa pendirian Marx yang timbul, merupakan putus hubungan secara epistemologi yang menentukan dengan penulis-penulis tersebut dan terutama dengan Heggel. Yang dicari marx untuk menggatikan pandangan yang lebih tua bukanlah suatu filsafat baru, Marx memilih untuk menanggalkan filsafat dan mengutamakan suatu pendekatan sosial dan historis. Dengan demikian Marx dalam naskah-naskah 1844-nya telah menekankan, bahwa kapitalisme berakar dalam suatu bentuk masyarakat , yang ciri struktural utamanya adalah suatu pola hubungan kelas bercabang dua, antara kapital dan tenaga kerja penerima upah.
e)    Suatu konsep ringkas tentang teori Praxis yang revolusioner. Didalam Ideologi Jerman marx memulai dengan fakta-fakta nayta yang sederhana. Untuk hidup, makhluk manusia harus memproduksi alat-lat penyambung hidupnya (makanan dan lain sebaginya). Untuk melakukannya mereka harus berekerjasama di dalam suatu pembagian kerja (disini terlihat betapa konsep tentang esensi manusia tak dilibatkan). Setiap tingkat perkembangan produksi itu sendiri adalah hasil  perkembangan sejarah dan hasil pencapaian generasi manusia sebelumnya. Perkembangan produksi mengharuskan keterlibatan bentuk-bentuk kerjasama, pembagian kerja dan karenanya juga organisasi kemasyarakatan. Masyarakat berubah melalui serentetan tingkat yang ditandai dengan berbagai bentuk kepemilikan. Pemilikan komunal masyarakat kuno didasarkan pada peranan budak. Pemilikan Feodal (tanah) atas pemerasan hamba -serfs-. Dan Pemilikan perorangan burjuis (kapitalis) atas eksploitasinya terhadap proletariat dari pekerja upahan yang tak punya apa-apa. Setiap tingkat bentuk produksi merupakan, lebih tinggi dari yang dulu. Dan setiap tingkat menyediakan syarat bagi yang akan datang. Perkembangan kapitalis menciptakan pemiskinan proletariat yang meluas dan meningkat. Maka itu, pada waktunya akan menggulingkan kapitalisme. Komunisme adalah produk sejarah yang tak terhindarkan.
Kritik Terhadap Kapitalisme
Menurut kritikus kontemporer kapitalisme, industrialisasi yang pesat di Eropa menciptakan kondisi kerja yang dipandang sebagai tidak adil, termasuk:. 14-jam hari kerja, pekerja anak, dan kota-kota kumuh. Beberapa ekonom modern berpendapat bahwa standar hidup rata-rata tidak meningkatkan , atau hanya sangat lambat meningkat, sebelum tahun 1840.
Pemikir sosialis awal menolak kapitalisme sama sekali, mencoba untuk menciptakan masyarakat sosialis bebas dari ketidakadilan yang dirasakan dari kapitalisme awal. Di antara kaum sosialis utopis adalah Charles Fourier dan Robert Owen. Pada tahun 1848, Karl Marx dan Frederick Engels dirilis Manifesto Komunis, yang diuraikan kritik politik dan ekonomi kapitalisme yang didasarkan pada materialisme sejarah philiosophy. Pierre-Joseph Proudhon kontemporer Marx kritikus terkemuka lainnya kapitalisme, dan salah satu yang pertama menyebut dirinya seorang anarkis. poster "Piramida Sistem Kapitalis", menggambarkan perspektif anarkis pada struktur sosial statis/kapitalis
Pada awal abad 20, segudang kecenderungan sosialis (misalnya, anarko-sindikalisme, demokrasi sosial dan Bolshevisme) telah muncul didasarkan pada interpretasi yang berbeda tentang kejadian saat ini. Pemerintah juga mulai menempatkan pembatasan pada operasi pasar dan menciptakan program-program intervensi yang berusaha untuk memperbaiki kekurangan yang dirasakan pasar (misalnya, ekonomi Keynesian dan New Deal). Dimulai dengan revolusi Rusia 1917, negara Komunis meningkat dalam jumlah, dan Perang Dingin dimulai dengan negara-negara kapitalis maju. Setelah Revolusi tahun 1989, banyak negara-negara komunis mengadopsi ekonomi pasar.  Beberapa tanggapan dan kritik tentang kapitalisme sebagai berikut :
Pertama, Kapitalisme pasti menghasilkan sistem kelas yang memecah masyarakat dan membuat pertentangan kelas. Didalam kapitalisme muncul sebuah situasi dimana beberapa orang memiliki kekuasaan atas kehidupan orang lain. Ada ketidaksetaraan, ketidakadilan dan pembedaan yang terjadi antara orang kaya dan orang miskin, yang melibatkan perbedaan dengan dasar kekayaan, kekuasaan dan kesempatan. Inilah yang disebut stratifikasi atau kelas-kelas dalam masyarakat. Stratifikasi atau kelas-kelas dalam masyarakat itu riil dan ada dalam masyarakat, baik itu berdasarkan pada harta, kepemilikan tanah, barang, harta atau pangkat, jabatan atau status sosial. Contoh kongkrit adalah pembagian BLT yang ditujukan pada masyarakat miskin dan kelas bawah. Inilah contoh paling kongkrit bahwa secara langsung memang ada pembagian kelas sosial dan stratifikasi dalam masyarakat. Dan sebagaimana startifikasi itu membagi masyarakat, maka perlakuan dan diskriminasi atau perlakuan berbeda pasti akan kita temukan pada sistem startifikasi tersebut. Penghuni kelas bawah atau statifikasi bawah pasti akan mendapatkan perlakukan yang lebih buruk daripada apa yang diterima oleh penghuni sratifikasi papan atas. Dan kapitalisme menempatkan stratifikasi bawah selalu mendapatkan perlakuan yang tidak lebih baik daripada apa yang diterima stratifikasi atas.   
Kedua, Kapitalisme adalah sebuah sistem yang didasarkan pada eksploitasi dimana para pekerja yang menghasilkan kekayaan diingkari hak-haknya dan andilnya. Buruh bekerja lebih banyak dan menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk bekerja menghasilkan banyak barang, namun upah yang didapat hanya sedikit jika dibanding dengan keuntungan yang dipunyai para kapitalis. Makanya di negara industri, selalu terjadi pemogokan buruh dengan tema utama meminta kenaikan upah. Mobilitas vertikal dalam stratifikasi sistem kapitalisme sangat tertutup peluangnya bagi kaum pekerja. Dan posisi ketidaksetaraan dilanggengkan melalui warisan.   
Ketiga, Kapitalisme adalah juga sebuah sistem yang sangat tidak efisien. Orang mengalami kemiskinan, pengangguran dan menjadi gembel karena kerja buta dari sebuah sistem yang tidak bisa mereka kontrol (seperti lingkaran perdagangan). Produksi dalam sistem industri kapitalisme banyak menghasilkan barang yang sebenarnya tidak berguna bagi orang banyak, namun tetap saja diproduksi karena hanya untuk mengejar keuntungan dan masyarakat kemudian “dipaksa” melalui agitasi dan propaganda yang gencar melalui sistem kapitalisme untuk mengkonsumsi produk yang sebenarnya tidak berguna tersebut. Contoh paling kongkret adalah bagaimana kapitalisme pada zaman sekarang ini mempunyai akses dan penguasaan terhadap media, khususnya melalui iklan dan pencitraan terhadap produk tertentu dalam iklan yang sangat mempengaruhi alam bawah sadar masyarakat. Padahal produk yang dihasilkan dan diiklankan bisa jadi bukanlah produk yang benar-benar di butuhkan oleh masyarakat, pada saat inilah muncul istilah masyarakat konsumtif. Kapitalis berusaha agar masyarakat dunia ketiga mau membeli barang produksinya dengan memberi insentif cuma-cuma, yang disebut dengan insentif untuk meningkatkan daya beli, padahal intinya membentuk masyarakat konsumtif, masyarakat yang tanpa sadar mau membelanjakan uangnya hanya untuk membeli barang-barang yang sebenarnya bukanlah barang primer atau yang benar-benar dibutuhkan oleh mereka.   
Keempat, produksi dilakukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk mencari kegunaan dan kemanfaatan. Para kapitalis terus memproduksi barang bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, namun untuk mencari keuntungan, sehingga ketika barang yang sudah diproduksi semakin banyak, dimulailah ekspansi mencari pasar baru. Inilah sifat dasar kapitalisme yang semakin mendasarkan diri pada sifat tamak dan rakus manusia. Sistem inilah yang kemudian menimbulkan ekspansi dan penjajahan atau kolonialisme. Inggris adalah negara yang menjajah negara lain karena mengalami over produksi barang-barang hasil revolusi industri, sehingga mereka perlu mencari negara lain untuk dijadikan pasar bagi produk industri mereka.
Kelima, sistem kapitalisme mempunyai pengaruh yang sangat buruk dan merusak sifat manusia. Sistem kapitalisme membuat manusia menjadi egois, tamak, dan kejam. Nilai kemanusiaan seperti kerjasama, kasih sayang, ditekan dan terdistorsi. Hal ini karena sistem kapitalisme bersumber dari filsafat liberalisme dimana setiap orang hanya bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri, sementara arti kebersamaan, komunitas dan kepedulian terhadap orang lain, terutama kepada orang miskin semakin dikurangi.


7.    Pemikiran Sosiologi Max Weber Mengenai Warisan Idealisme Historisisme Jerman, Sosiologis Interpretatif (Verstehen), Mengenai Kelas-Status-Kekuasaan Dan Masalah Rasionalitas
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman, pada tanggal 21 April 1864, dari keluarga kelas menengah. Perbedaan antara orang tuanya membawa dampak besar pada orientasi intelektual dan perkembangan psikologinya
Warisan Idealisme Historisisme Jerman. Konsep Sosiologi Weber, sebagaimana yang telah kita ketahui, dipandang sebagai suatu upaya yang menengahi antara dua cara pandang yang bertentangan yang terjadi di jerman pada masanya. Posisi pertama, adalah mereka yang di ilhami oleh keberhasilan ilmu alam, yang meyakini bahwa metode mereka akan mampu memacu perkembangan studi manusia dan masyarakat. Sebaliknya pandangan yang kedua, menekankan bahwa sesuatu yang penting dalam manusia (spirit, pikiran, budaya dan sejarahnya) tidak akan mampu di pahami melalui teknik-teknik ilmu alam, karenanya pandangan yang pertama itu sifatnya superficial (hal-hal yang ada di permukaan) dan hanya menyangkut aspek-aspek manusia yang eksternal saja.
Psikologisme, positivisme dan behaviorisme merupakan prinsip-prinsip manifestasi dari pijakan pandangan pertama, yang bertentangan dengan Husserl dan Scheler sebagaimana yang telah kita lihat, telah mengembangkan perspektif pendekatan fenomenologi. Sedangkan weltanschuungsphilosophi dan historisme merupakan contoh dari pijakan yang kedua. Pemikiran ini menekankan bahwa keunikan spirit manusia membutuhkan beberapa metode yang khusus sehingga seseorang mampu memahinya secara autentik. Hanya dengan intuisi yang simpatik dan pemfokusan terhadap makna itulan yang akan mampu menghasilkan suatu pemahaman budaya dan sejarah secara memadai. Menurut Weber, dalam memahami sosio budaya maka di perlukan beberapa metode khusus dalam rangka memahami berbagai motif dan arti atau makna tindakan manusia. Dengan pengertian semacam ini, maka sosiologi merupakan suatu ilmu yang meilbatkan dirinya dengan penafsiran dan pemahan tindakan manusia secara sensitif. Penjelasan sosiologi haruslah memadai dalam tahapan makna. Tetapi ini bukan berarti bahwa Weber menyatakan bahwa sosiologi harus menghilangkan hubungan-hubungan kausal dalam berbagai fenomena sosial. Weber menunujukkan bahwa keterlibatan dengan kausal (hukum sebab akibat) dan generalisasi merupakan suatu hal yang umum dalam semua ilmu, maka demikian pula hal ini harus dijadikan fokus utama dalam ilmu sosial. Dengan cara seperti ini, Weber mencoba memperbarui apa yang dianggap penting oleh kedua pijakan yang bertentangan tersebut. Dengan adanya kondisi manusia semacam itu, maka tidak ada ilmu yang akan dapat memahami secara benar jika menghilangkan makna dan kesulitan itu. Sosiologi merupakan suatu ilmu yang hadir secara bersamaan untuk memahami makna subjektif manusia yang diatributkan pada tindakkan-tindakkannya dan sebab-sebab objektif serta konsekuensi dari tindakannya. Perlu diingat bahwa makna juga merupakan suatu komponen kausal dari suatu tindakan. Definisi Weber yang terkenal tentang tindakan tersebut adalah sebagai berikut “ suatu tindakan sosial itu merupakan suatu tindakan yang subjektif yang juga meliputi tindakan yang lainnya” dan diorientasikan dalam bentuk tindakan sosial. Secara ideal sosiologi haruslah menyediakan suatu penjelasan yang memadai pada dua tingkatan : pada tingkatan arti dan tindakan kausalitas. Istilah yang subjektif sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Weber, merupakan suatu hal yang penting. Sebab dengan cara ini akan membedakan secara tegas orang yang mengabaikan arti dalam mempelajari manusia dengan orang meyakini bahwa arti itu merupakan suatu hal yang objektif dan mutlak. Menurut Weber demikian pula Scheller, etika, estetika, dan beberapa cabang budaya itu kebenaran dan kevaliditasan tidak ditentukan oleh standar transidental metafisika. Subyektif itu merujuk pada makna dari actor-aktor itu sendiri yang memberikan atribut pada tindakan mereka dimana ini mengartikan bahwa seseorang haruslah berusaha keras untuk memahaminya.
Weber muda adalah seorang peneliti aktif mengenai kebijakan sosial dan kondisi kaum buruh, Weber yang lebih akhir melakukan riset mengenai psikofisika dalam kerja industrial, serta merupakan partisipan dalam negosiasi perdamaian Versailles dan contributor untuk konstitusi Weimar. Simpati Max Weber konon lebih dekat kepada Partai Sosial Demokrat Jerman dari pada apa yang diakuinya, setidaknya tertuju pada aliran reformasinya.
Sosiologis Interpretatif (Verstehen)
Teori sosiologi interpretatif berpandangan bahwa dunia sosial berbeda dengan dunia alam harus dimengerti sebagai suatu penyelesaian secara terlatih dari manusia sebagai subyek yang aktif dan pembentukan dunia ini sebagai sesuatu yang mempunyai makna, dapat diperhitungkan atau dimengerti dengan jelas. Menurut Max Weber, sosiologi adalah ilmu yang berhubungan dengan pemahaman interpretative dimaksudkan agar dalam menganalisis dan mendeskripsikan masyarakat tidak sekedar yang tampak saja, melainkan dibutuhkan interpretasi agar penjelasan tentang individu dan masyarakat tidak keliru. Weber merasa bahwa sosiolog  memiliki kelebihan daripada ilmuwan alam. Kelebihan tersebut terletak pada kemampuan sosiolog untuk memahami fenomena sosial, sementara ilmuwan alam tidak dapat memperoleh pemahaman serupa tentang perilaku atom dan ikatan kimia.
Kata pemahaman dalam bahasa Jerman adalah verstehen. Pemakaian istilah verstehen ini secara khusus oleh Weber dalam penelitian historis adalah sumbangan yang paling banyak dikenal, dan paling kontroversial, terhadap metodologi sosiologi kontemporer. Ketika kita mengerti apa yang dimaksud Weber dengan kata verstehen, kita pun akan menggarisbawahi beberapa masalah dalam menafsirkan maksud Weber, muncul dari masalah umum dalam pemikiran metodologis Weber. Seperti dikemukakan Thomas Burger, Weber tidak utuh dan konsisten dengan pernyataan metodologisnya. Ia cenderung gegabah dan tidak tepat sasaran karena merasa bahwa ia sekedar mengulangi gagasan-gagasannya yang pada zamannya terkenal di kalangan sejarawan Jerman. Terlebih lagi, seperti ditegaskan diatas, Weber tidak terlalu memikirkan refleksi metodologis.
Pemikiran Weber tentang verstehen lebih sering ditemukan di kalangan sejarawan Jerman pada zamannya dan berasal dari bidang yang dikenal dengan hermeneutika. Hermeneutika adalah pendekatan khusus terhadap pemahaman dan penafsiran tulisan-tulisan yang dipublikasikan. Tujuannya adalah memahami pemikiran pengarang maupun struktur dasar teks. Weber dan lainnya berusaha memperluas gagasannya dari pemahaman teks kepada pemahaman kehidupan sosial : memahami aktor, interaksi, dan seluruh sejarah manusia. Satu kesalahpahaman yang sering terjadi menyangkut konsep verstehen  adalah bahwa dia dipahami sekedar sebagai penggunaan “intuisi”, irasional, dan subyektif. Namun secara kategoris Weber menolak gagasan bahwa verstehen hanya melibatkan intuisi, keterlibatan berdasarkan simpati, atau empati. Baginya, verstehen melibatkan penelitian sistematis dan ketat dan bukannya hanya sekedar merasakan teks atau fenomena sosial. Dengan kata lain, bagi Weber verstehen adalah prosedur studi yang rasional. Sejumlah orang menafsirkan verstehen, pernyataan-pernyataan Weber, tampaknya terbukti kuat dari sisi penafsiran level individu terhadap verstehen. Namun sejumlah orang juga menafsirkan bahwa verstehen yang dinyatakan oleh Weber adalah sebagai teknik yang bertujuan untuk memahami kebudayaan. Seiring dengan hal tersebut, W.G. Runciman (1972) dan Murray Weax (1967) melihat verstehen sebagai alat untuk mempelajari kebudayaan dan bahasa tertentu.
Max Weber juga memasukkan problem pemahaman dalam pendekatan sosiologisnya, yang sebagaimana cenderung ia tekankan adalah salah satu tipe sosiologis dari sekian kemungkinan lain. Karena itulah ia menyebut perspektifnya sebagai sosiologi interpretatif atau pemahaman. Menjadi ciri khas rasional dan positivisnya bahwa ia mentransfermasikan konsep tentang pemahaman. Meski begitu baginya pemahaman tetap merupakan sebuah pendekatan unik terhadap moral atau ilmu-ilmu budaya, yang lebih berurusan dengan manusia ketimbang dengan binatang lainnya atau kehidupan non hayati. Manusia bisa memahami atau berusaha memahami niatnya sendiri melalui instropeksi, dan ia bisa menginterpretasikan perbuatan orang lain sehubungan dengan niatan yang mereka akui atau diduga mereka punyai.
Refleksi metodologis Weber jelas berhutang pada filsafat pencerahan. Titik tolak dan unik analisis paling utamanya adalah sosok individual. Sosiologi interpretative memandang individu dan tindakannya sebagai  satuan dasar, sebagai “atomnya” sekiranya perbandingan yang diperdebatkan bisa diterima. Dalam pendekatan ini individu juga dipandang sebagai batas teratas dan pembawa tingkah laku yang bermakna. Weber memilah berbagai “tipe” aneka tindakan bermotivasi. Tindakan-tindakan yang tercakup dalam sikap kelaziman rasional ia nilai secara khas sebagai tipe yang paling bisa dipahami, dan perbuatan “manusia ekonomis” adalah contoh utamanya. Tindakan-tindakan yang kurang “rasional” oleh Weber digolongkan, kaitannya dengan pencarian tujuan-tujuan absolute, sebagai berasa dari sentiment berpengaruh dalam (affectual sentiments)atau sebagai “tradisional”. Karena tujuan absolut dipandang oleh sosiolog sebagai data yang “terberi” (given) maka sebuah tindakan bisa menjadi rasional dengan mengacu pada sarana yang digunakan, tetapi irasional jika dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai.
Tindakan “afektual”, yang murni berasal dari sentiment, adalah tipe perbuatan yang kurang rasional. Dan akhirnya, mendekati level “instinctual” adalah perbuatan “tradisional” : tidak reflektif dan bersifat kebiasaan, tipe ini dikeramatkan karena “selalu dilakukan” dank arena itu dipandang tepat. Tipe-tipe tindakan ini dibentuk secara operasional kaitannya dengan sebuah skala rasionalitas.
Tipe-tipe ideal
Tipe ideal adalah salah satu sumbangan terpenting Weber terhadap sosiologi kontemporer. Seperti telah kia ketahui, Weber percaya bahwa tanggung jawab sosiolog adalah mengembangkan seperangkat konseptual, yang kemudian dapat digunakan oleh sejarawan dan sosiolog. Perangkat konseptual terpenting tersebut adalah tipe ideal. Kendati memiliki definisi seperti ini, weber tidak sepenuhnya konsisten dengan caranya menggunakan tipe ideal. Untuk Memahami maksud awal konsep tersebut, kita harus memperhatikan beberapa ketidakkonsistenan ini. Pada level paling dasar, tipe ideal adalah konsep yang dikonstruksikan oleh ilmuwan sosial, menurut minat dan orientasinya, dalam rangka memahami ciri utama fenomena sosial.
Yang penting dicatat adalah bahwa tipe-tipe ideal merupakan perangkat heuristic, mereka berguna dan membantu dalam melakukan penelitian empiris dan dalam memahami aspek tertentu dari dunia sosial. Seperti dikatakan Lachman, “pada dasarnya tipe ideal adalah tolak ukur” atau menurut Kalberg, “standart pembanding”. Inilah yang dikatakan Weber: “fungsinya adalah alat pembanding dengan realitas empiris untuk menentukan ketidaksesuaian atau kemiripan, untuk menggambarkannya dengan konsep yang paling dapat dipahami secara tepat, dan untuk mendapatkan dan menjelaskannya secara kausal “tipe-tipe ideal adalah perangkat heuristic yang digunakan dalam irisan realitas sejarah. Sebagai contoh, ilmuan sosial akan mengkontruksi tipe ideal birokrasi berdasarkan atas keterlibatan mereka dengan data sejarah. Tipe ideal ini kemudian dapat dibandingkan dengan birokrasi actual. Peneliti mencari ketidaksesuaian pada kasus riel dari tipe ideal rata-rata. Selanjutnya, ilmuan sosial harus mencari sebab-sebab ketidaksesuaian dan penyimpangan ini. Beberapa alas an tipikal bagi ketidaksesuaian ini adalah:
1.    Tindakan birokrat yang didasarkan pada informasi yang keliru.
2.    Kesalahan strategi, terutama yang dilakukan oleh para pimpinan birokrasi.
3.    Kesalahan logika yang menopang tindakan pemimpin dan pengikut.
4.    Keputusan birokratis yang didasarkan pada perasaan.
5.    Segala irasionalitas dalam tindakan pimpinan dan pengikut birokrasi.
Contoh yang lain adalah tipe ideal pertempuran militer. Tipe ideal ini menentukan komponen-komponen utama pertempuran tersebut. Pertempuran actual mungkin tidak memiliki seluruh elemen ini, dan inilah satu hal yang ingin diketahui peneliti. Point dasarnya adalah bahwa element-element dari pertempuran militer dapat dibandingkan dengan element-element yang identik dengan tipe ideal.
Element-element tipe ideal (misalnya, component-komponent pertempuran militer yang ideal-tipikal) tidak boleh disatukan begitu saja: mereka dikombinasikan menurut kontabilitasnya. Sebagaimana seperti yang dikemukakan Hekman, “tipe-tipe ideal bukanlah produk dari dorongan sesaat atau khayalan ilmuan sosial, namun merupakan konsep yang dikonstruksi secara logis”.
Menurut pandangan Weber, tipe ideal secara induktif berasal dari dunia riel sejarah sosial. Weber tidak percaya bahwa dengan hanya menawarkan serangkaian konsep yang didefinisikan secara seksama sudah memadai, khususnya jika konsep-konsep tersebut secara deduktif diturunkan dari teori abstrak. Jadi, untuk menghasilkan tipe-tipe ideal, mula-mula meneliti harus melibatkan dirinya dengan realitas sejarah dan selanjutnya menurunkan tipe-tipe itu dari realitas tersebut. Sejalan dengan upaya Weber untuk menemukan titik tengah antara pengetahuan nomotetis dengan pengetahuan ideografis, ia berpendapat bahwa tipe-tipe ideal tidak boleh terlalu umum atau terlalu spesifik.
Meskipun tipe-tipe ideal harus berasal dari dunia riel, mereka tidak dapat menjadi cerminan citra dunia tersebut. Mereka adalah penekanan satu sisi terhadap esensi hal-hal yang terjadi di dunia nyata. Menurut pandangan Weber, semakin suatu tipe ideal diberi penekanan, semakin berguna ia bagi penelitian sejarah. Pengguanaan kata ideal atau utopia tidak boleh diartikan bahwa konsep yang digambarkan tersebut dari sudut pandang manapun adalah yang terbaik diantara yang mungkin. Seperti digunakan oleh Weber, istilah ini berarti bahwa bentuk yang digambarkan dalam konsep tersebut jarang, jika pernah, ditemukan di dunia nyata. Sebaliknya, Weber berargumen bahwa tipe ideal tidak harus positif atau benar, bisa saja sama sekali tidak dapat diterima secara moral atau bersikap negative.
Tipe-tipe ideal harus masuk akal di dalam dirinya sendiri, makna komponen-komponen harus kompatibel, dan semua itu harus membantu kita memahami dunia riel. Meskipun kita harus menganggap bahwa tipe-tipe ideal menggambarkan entitasyang statis, Weber percaya bahwa tipe-tipe tersebut dapat menjelaskan entitas statis atau dinamis. Selanjutnya kita memiliki tipe struktur ideal seperti, birokrasi, atau perkembangan sosial seperti birokratisasi.
Tindakan Sosial
Keseluruhan sosiologi Weber, jika kita menerima kata-katanya ini sebagai mana adanya, didasarkan pada pemahamannya tentang tindakan sosial. Ia membedakan tindakan dengan perilaku yang murni reaktif. Mulai sekarang konsep perilaku dimaksudkan sebagai perilaku otomatisyang tidak melibatkan proses pemikiran. Stimulus datang dan perilaku terjadi, dengan sedikit saja jeda antara stimulus dengan respons. Perilaku semacam ini tidak menjadi minat sosiologi Weber. Ia memusatkan perhatiannya pada tindakan yang jelas-jelas melibatkan campur tangan proses pemikiran. Dalam teori tindakannya, tujuan Weber tak lain adalah memfokuskan perhatian pada individu, pola dan regularitas tindakan, dan bukan pada kolektivitas. Tindakan dalam pengertian orientasi perilaku yang dapat dipahami secara subjektif hanya hadir sebagai perilaku seseorang atau beberapa orang manusia.
Dari uraian tersebut juga dapat disimpulkan bahwa Weber mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang memusatkan perhatiannya pada pemahaman interpretative atas tindakan sosial dan pada penjelasan kausal atas proses dan konsekuensi tindakan tersebut.
Kelas-Status dan Kekuasaan
Konsep kelas merujuk pada sekelompok orang yang ditemukan pada situasi kelas yang sama. Jadi bukanlah komunitas, melainkan sekedar kelompok orang yang berada dalam situasi yang sama. Kelas hadir dalam tatanan ekonomi.
Weber mendefinisikan 3 syarat munculnya situasi kelas:
a)    Sejumlah individu memiliki kesamaan komponen kausal spesifik peluang hidup mereka.
b)    Komponen ini hanya direpresentasikan oleh kepentingan ekonomi (penguasaan barang, peluang memperoleh pendapatan).
c)    Direpresentasikan menurut syarat-syarat komoditas atau pasar tenaga kerja.
Status merujuk pada komunitas, kelompok status biasanya berupa komunitas.  Weber mendefinisikan bahwa status adalah “Setiap komponen tipikal kehidupan manusia yang ditentukan oleh estimasi sosial tentang derajat martabat tertentu, positif atau negatif”. sudah jadi semacam patokan umum kalau status dikaitkan dengan gaya hidup, (status terkait dengan konsumsi barang yang dihasilkan, sementara itu kelas terkait dengan produksi ekonomi). Mereka yang berada dipuncak hierarki status memiliki gaya hidup berbeda dengan yang ada dibawah. Dalam hal ini gaya hidup atau status terkait dengan situasi kelas. Namun kelas dan status tidak selalu terkait satu sama lain. Status hadir dalam tatanan sosial.  “ uang dan kedudukan kewirausahaan bukan merupakan kualifikasi status, kendati keduanya dapat mengarah kepadanya dan ketiadaan harta benda tidak dengan sendirinya membuat status jadi melorot, meskipun tetap dapat menjadi alasan bagi penurunan tersebut”.
Kekuasaan hadir dalam tatanan politik. Bagi Weber kekuasaan “selalu merupakan struktur yang berjuang untuk meraih dominasi”. Jadi, partai adalah elemen paling teratur dalam sistem stratifikasi Weber. Weber menganggap partai begitu luas sehingga tidak hanya mencakup hal-hal yang ada dalam negara namun juga yang ada dalam klub sosial. Apapun yang ditampilkannya, partai berorientasi pada diraihnya kekuasaan. Meskipun Weber kritis terhadap kapitalisme modern tetapi ia tidak mendukung revolusi. Ia ingin mengubah masyarakat secara gradual , bukan menghancurkannya. Ia tidak terlalu yakin dengan kemampuan massa untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik. Sejalan dengan pemikirannya tentang politik agung, lahir nasionalismenya yang teguh. Ia menempatkan bangsa diatas lainnya : “kepentingan vital negara, tentu saja berada diatas demokrasi dan parlementarisme”. Weber memilih demokrasi sebagai bentuk politik bukan karena ia percaya pada massa namun karena demokrasi menawarkan dinamika maksimal dan merupakan mileu terbaik untuk menciptakan pemimpin politik. Weber mencatat bahwa struktur otoritas hadir di setiap institusi sosial, dan pandangan politiknya terkait dengan analisis struktur.
Weber selalu mengawali analisisnya tentang struktur otoritas dengan asumsinya tentang hakikat dan sifat dasar tindakan. Ia mendefinisikan dominasi sebagai “ probabilitas suatu perintah (atau semua perintah) tertentu akan dipatuhi oleh sekelompok orang. Dominasi dapat memiliki beragam basis, sah maupun tidak, namun yang terutama menarik perhatian Weber adalah bentuk dominasi yang sah, atau yang disebutnya dengan otoritas. Yang menjadi pokok perhatian weber, dan yang sangat penting dalam sebagian besar pemikiran sosiologisnya, adalah tiga dasar yang digunakan para pengikut untuk melegitimasi otoritas-rasional, tradisional dan karismatik. Otoritas yang mendapatkan legitimasi rasional bersandar kepada “ kepercayaan akan legalitas aturan tertulis dan hak mereka yang diberi otoritas berdasarkan aturan untuk mengeluarkan perintah’. Otoritas yang mendapat legitimasi tradisional didasarkan pada “ kepercayaan yang telah mapan terhadap kesucian tradisi kuno dan legitimasi mereka yang menjalankan otoritas berdasarkan tradisi tersebut”. Otoritas yang mendapat legitimasi dari kharisma didasarkan pada kesetiaan para pengikutnya terhadap kesucian yang tidak lazim, sosok teladan, heroisme, atau kekuatan khusus ( misalnya kemampuan menciptakan mukjizat) yang dimiliki pemimpin, maupun pada tatanan normatif yang diberlakukannya.
Otoritas legal
Otoritas legal dapat memiliki beragam bentuk struktural, namun bentuk yang paling menarik perhatian Weber adalah birokrasi yang ia pandang sebagai “tipe paling murni dari dijalankannya otoritas legal”.  Weber tercengang oleh efek birokratisasi, dan lebih umum lagi, efek rasionalisasi dunia dimana birokratisasi menjadi satu-satunya komponen, namun ia tidak melihat ada jalan lain. Ia menggambarkan birokrasi sebagai “bukti jalan keluar,” “praktis tidak dapat dihancurkan,” dan disalah satu institus yang menghancurkan begitu ia terbangun. Weber menyimpulkan bahwa “ masa depan berada pada tangan birokratisasi”, dan waktu telah membuktikan prediksinya.
Weber membedakan tipe-ideal birokrasi dengan tipe-ideal birokrat. Ia memahami birokrasi sebagai struktur dan birokrat sebagai posisi dalam struktur tersebut.
Tipe-ideal birokrasi adalah sebuah tipe organisasi. Unit dasarnya adalah badan yang diorganisasi secara hierarkis dengan aturan, fungsi, dokumen tertulis, dan cara-cara yang memaksa. Pada tingkat yang begitu beragam, semua itu merupakan struktur skala terbesar yang menggambarkan simpul pemikiran Weber. Pada akhirnya, ia dapat saja membangun tipe-ideal birokrasi yang berpusat pada pikiran dan tindakan individu dalam birokrasi. Otoritas tradisional
Kalau otoritas legal tumbuh dari legitimasi sistem rasional-legal, maka otoritas tradisional didasarakan pada klaim pemimpin dan keyakinan para pengikutnya bahwa terdapat kelebihan dalam kesucian aturan dan kekuasaan yang telah berusia tua. Weber memilah dua bentuk awal otoritas tradisional. Gerontokrasi melibatkan kekuasaan yang dijalankan oleh orang yang lebih tua, sementara itu Patriarkalisme primer adalah kepemimpinan yang diperoleh karena pewarisan. Yang lebih modern lagi adalah feodalisme, yang membatasi kekuasaan pemimpin melalui pengembangan hubungan yang lebih rutin, bahkan kontraktual, antara pimpinan dengan bawahan. Weber menyatakan bahwa struktur dan praktik otoritas tradisional menjadi penghambat bagi kelahiran struktur ekonomi rasional khususnya kapitalisme maupun bagi beragam komponen lain masyarakat rasional. Bahkan patrimonialisme ( bentuk yang lebih modern dari tradisionalisme yang lebih tradisional) kendati membuka peluang bagi berkembangnya bentuk-bentuk kapitalisme primitif tertentu tidak membuka peluang bagi kelahiran kapitalisme yang bertipe sangat rasional yang menjadi ciri barat modern.
Otoritas Karismatik
Bagi weber, karisma adalah kekuatan revolusioner, salah satu kekuatan revolusioner penting di dunia sosial. Lahirnya pemimpin karismatik sangat mungkin menjadi ancaman bagi sistem tersebut. Yang membedakan karisma sebagai kekuatan revolusioner adalah bahwa dia menyebabkan berubahnya pikiran aktor; ini menyebabkan “ reorientasi subyektif atau internal.” Perubahan-perubahan tersebut mengarah pada perubahan sikap utama dan arah tindakan secara radikal menjadi orientasi yang sama sekali baru bagi semua sikap terhadap perbedaan masalah dunia sosial.
Kekuatan revolusioner utama lain dalam sistem teoritis Weber dan kekuatan yang banyak menyita perhatiannya adalah rasionalitas (formal). Weber melihat rasionalitas ( formal) sebagai kekuatan revolusioner eksternal yang terlebih dahulu mengubah struktur masyarakat lalu mengubah pikiran dan tindakan individu.
MASALAH RASIONALITAS
Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Perbedaan pokok yang diberikan adalah mengenai tindakan rasional dan nonrasional. Tindakan rasional menurut Weber berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Didalam dua kategori utama mengenai tindakan rasional dan nonrasional itu, ada dua bagian yang berbeda satu sama lain, yaitu:
Tindakan Rasional :
a)    Tindakan Instrumental ( Zweckkrationalitat)
Merupakan tingkat rasional yang paling tinggi. Meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Individu dilihat sebagai memiliki macam-macam tujuan yang mungkin diinginkannya, dan atas dasar suatu kriterium menentukan satu pilihan diantara tujuan-tujuan yang saling bersaingan ini. Individu itu lalu menilai alat yang mungkin dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang dipilih tadi. Hal ini mungkin mencakup pengumpulan informasi, mencatat kemungkinan-kemungkinan serta hambatan-hambatan yang terdapat dalam lingkungan, dan mencoba untuk meramalkan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari beberapa alternatif tindakan itu. Akhirnya suatu pilihan dibuat atas alat yang dipergunakan yang kiranya mencerminkan pertimbangan individu atas efisiensi dan efektifitasnya. Sesudah tindakan itu dilaksanakan , orang itu dapat menentukan secara obyektif sesuatu yang berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai. Weber menjelaskan :
“Tindakan diarahkan secara rasional ke suatu sistem dari tujuan-tujuan individu yang memiliki sifat-sifat sendiri (zweckratinational) apabila tujuan itu, alat dan akibat-akibat sekundernya diperhitungkan dan dipertimbangkan semuanya secara rasional. Hal ini mencakup pertimbangan rasional atas alat alternatif untuk mencapai tujuan itu., pertimbangan mengenai hubungan-hubungan tujuan itu dengan hasil-hasil yang mungkin dari penggunaan alat tertentu apa saja, dan akhirnya pertimbangan mengenai pentingnya tujuan-tujuan yang mungkin berbeda secara relative”.
Rasionalitas yang berorientasi nilai ( Wertrationalitat)
Jika dibandingkan dengan rasionalitas instrumental, maka sifat rasionalitas yang beorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat yang hanya merupakan objek pertimbangan dan perhitungan yang sadar, tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Nilai-nilai akhir bersifat nonrasional dimana seseorang tidak dapat memperhitungkannya secara obyektif mengenai tujuan-tujuan mana yang harus dipilih. Komitmen terhadap nilai ini adalah sedemikian sehingga pertimbangan-pertimbangan rasional mengenai kegunaan (utility, efisiensi dan sebagainya tidak relevan. Individu mempertimbangkan alat untuk mencapai nilai-nilai seperti itu, tetapi nilai-nilai itu sendiri sudah ada.
Tindakan religius mungkin merupakan bentuk dasar dari rasionalitas yang berorientasi nilai ini. Orang yang beragama mungkin menilai pengalaman subyektif mengenai kehadiran Tuhan bersamanya atau perasaan damai dalam hati atau dengan manusia, seluruhnya merupakan nilai akhir dimana dalam perbandingannya nilai-nilai lain menjadi tidak penting. Nilainya sudah ada, individu memilih alat seperti meditasi, doa, menghadiri upacara di gereja.
Weber membagi rasionalitas menjadi dua jenis, yaitu rasionalitas sarana tujuan dan rasionalitas nilai. Namun konsep-konsep tersebut merujuk pada tipe tindakan. Weber tidak terlalu tertarik pada orientasi tindakan yang terfragmentasi, perhatian pokoknya adalah keteraturan dan pola-pola tindakan dalam peradaban, institusi, organisasi strata, kelas dan kelompok. Weber membedakan hal tersebut menjadi beberapa tipe, yaitu:
1.    Rasionalitas praktis yang didefinisikan Kalberg sebagai ‘ setiap jalan hidup yang memandang dan menilai aktivitas-aktivitas duniawi dalam kaitannya dengan kepentingan individu yang murni pragmatis dan egoistis”.  Orang yang mempraktikan rasionalitas praktis menerima realitas yang ada dan sekedar mengalkulasikan cara termudah untuk mengatasi kesulitan yang mereka hadapi. Tipe rasionalitas ini muncul seiring dengan ikatan magis primitif.
2.    Rasionalitas teoretis. Rasionalitas teoretis melibatkan upaya kognitif untuk menguasai realitas melalui konsep-konsep yang makin abstrak dan bukannya melalui tindakan. Rasionalitas ini melibatkan proses kognitif abstrak seperti deduksi logis, induksi, atribusi kausalitas dan semacamnya. Tidak seperti rasionalitas praktis, rasionalitas teoretis mendorong pelaku untuk mengatasi realitas sehari-hari dalam upayanya memahami dunia sebagai kosmos yang mengandung makna. Efek rasionalitas intelektual pada tindakan sangat terbatas. Didalamnya berlangsung proses kognitif, tidak memengaruhi tindakan yang diambil, dan secara tidak langsung hanya mengandung potensi untuk memperkenalkan pola-pola baru tindakan.
3.    Rasionalitas subtantif. Rasionalitas subtantif secara langsung menyusun tindakan-tindakan ke dalam sejumlah pola melalui kluster-kluster nilai. Rasionalitas subtantif melibatkan pemilihan sarana untuk mencapai tujuan dalam konteks sistem nilai. Suatu sistem nilai ( secara subtantif) tidak lebih rasional daripada sistem lainnya.
Akhirnya, dan yang terpenting dari sudut pandang penulis adalah rasionalitas formal yang melibatkan kalkulasi sarana-tujuan ( rasionalitas praktis). Namun kalau dalam rasionalitas praktis kalkulasi ini terjadi dengan merujuk pada kepentingan diri yang pragmatis.
Tindakan Nonrasional
a)    Tindakan Tradisional
Tindakan tradisional merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat nonrasional. Kalau seorang individu memperlihatkan perilaku karena kebiasaan, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan, perilaku seperti itu digolongkan menjadi tindakan tradisional. Individu tersebut akan membenarkan atau menjelaskan tindakan itu, kalau diminta, dengan hanya mengatakan bahwa dia selalu bertindak dengan cara seperti itu atau perilaku itu merupakan kebiasaan baginya.
b)    Tindakan Afektif
Tipe tindakan ini ditandain oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaaan yang sadar. Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-luap seperti cinta, kemarahan, ketakutan, atau kegembiraan, dan secara spontan mengungkapkan perasaan seperti itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif. Tindakan itu benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis, ideologi, atau kriteria rasionalitas lainnya.
AGAMA DAN KELAHIRAN KAPITALISME
Salah satu perhatian utama Weber adalah hubungan antar berbagai agam dunia dengan  perkembangan sistem ekonomi kapitalis yang hanya terjadi di barat (Schulchet, 1996). Jelas bahwa sebagian besar karyanya dilakukan pada level sosial-struktural dan kultural; pikiran dan tindakan calvinis, penganut agama budha, konfusian, yahudi, muslim, dan penganut agama lain diyakininya dipengaruhi oleh perubahan struktur sosial dan institusi sosial. Weber terutama tertarik pada sistem gagasan agama-agama dunia, “semangat” kapitalisme, dan rasionalisasi sebagai nilai dan norma sistem modern.
Karya Weber tentang agama dan kapitalisme mencakup penelitian-penelitian sejarah lintas budaya; disini, sebagaimana di tempat lain, ia memakai sosiologi historis-komparatif. Freund meringkas kesalingterkaitan rumit dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.    Kekuatan ekonomi mempengaruhi agama protestan
2.    Kekuatana ekonomi memengaruhi aga selain protestan ( misalnya, hinduisme, konfusianisme, dan Taoisme).
3.    Gagasan-gagasan agama memengaruhi pikiran dan tindakan individu khususnya , pikiran dan tindakan ekonomi.
4.    Sistem gagasan agama meninggalkan pengaruh yang tidak sedikit di seluruh dunia.
5.    Sistem gagasan agama ( khususnya agama protestan) melahirkan akibat yang unik di barat dalam membantu merasionalkan sektor ekonomi dan hampir setiap institusi lain. Dapat pula kita tambahkan:
6.    Sistem gagasan agama di dunia luar barat menciptakan kendala struktural yang begitu besar bagi rasionalisasi.
Ketika menganalisis hubungan antara agama-agama dunia dengan ekonomi, Weber mengembangkan tipologi jalan keselamatan. Asketisisme adalah jenis religiositas pertama yang cakupannya begitu luas, yang menggabungkan orientasi pada tindakan dengan komitmen orang beriman untuk meninggalkan kenikmatan dunia. Agama-agama asketis dapat dibagi 2 subtipe. Pertama, asketisisme dunia lain, yang meliputi serangkaian norma dan nilai yang memerintahkan para pengikut agar tidak bekerja di dunia sekuler dan melawan hawa nafsu (Kalberg, 2001). Yang paling menarik perhatian Weber adalah subtipe kedua, asketisisme duniawi, karena jenis ini mencakup calvinisme. Agama semacam itu tidak menolak dunia; namun, ia secara aktif menyerukan anggotanya untuk bekerja di dunia sehingga mereka dapat menemukan keselamatan, atau paling tidak tanda-tandanya. Tujuannya adalah kontrol ketat dan metodis atas pola kehidupan, pikiran, dan tindakan anggota-anggotanya. Anggota diperintahkan untuk menolak segala hal yang tidak etis, estetis, atau tergantung pada reaksi emosional mereka terhadap dunia sekuler. Penganut asketisisme duniawi tergolong untuk menyistemasikan perbuatan mereka.
Kalau dua tipe aspek asketisme tersebut berisi jenis-jenis tindakan dan penolakan-diri, maka mistisisme berisi kontemplasi, emosi, dan pengucilan diri. Weber membagi lagi mistisisme sebagaimana yang dilakukan terhadap asketisisme. Mistisisme yang menolak dunia meliputi pelarian total dari dunia. Mistisisme duniawi mengarah pada upaya kontemplatif untuk memahami makna dunia,  namun upaya-upaya ini berakhir dengan kegagalan, karena dunia dilihat berada diluar pemahaman individu. Bagaimanapun juga, kedua jenis mistisisme dan asketisisme yang menolak dunia dapat dilihat sebagai sistem gagasan yang menghambat perkembangan kapitalisme dan rasionalitas. Sebaliknya asketisisme duniawi adalah sistem norma dan nilai yang memberikan konstribusi pada perkembangan kedua fenomena tersebut di dunia barat.
Taoisme. Weber memahami Taoisme sebagai agama cina mistis yang didalamnya kebaikan tertinggi diyakini sebagai kondisi psikis, kondisi pikiran, dan di dunia nyata. Akibatnya, Taois tidak melakukan upaya rasional untuk mempengaruhi dunia luar. Pada dasarnya Taoisme bersifat tradisional, dan salah satu ciri dasarnya adalah “ jangan pernah lakukan inovasi “Sistem gagasan semacam itu cenderung tidak menimbulkan perubahan besar, sejauh yang dicapai kapitalisme, misalnya.

Satu kesamaan ciri taoisme dan konfusianisme adalah tidak satupun yang cukup menghasilkan ketegangan, atau konflik, antar anggota yang mendorong mereka melakukan tindakan-tindakan inovatif di dunia ini. Sebagaimana berlaku  pada konfusianisme, tidak ada kekuatan inheren dalam Taoisme yang mendorong pelaku untuk mengubah dunia, atau, lebih khusus lagi, untuk membangun suatu sistem kapitalis.

SUMBER: http://achmadadib.blogspot.com/2011/12/pemikiran-7-tokoh-sosiologi-klasik-1.html 

1 komentar:

  1. DonacoPoker Agen Poker Online Terbaik

    DonacoPoker memberikan kesempatan kepada anda untuk menikmati segala kemudahan dan kenyamanan bermain yang tidak bisa Anda dapatkan disitus-situs lainnya. Seperti :
    1. Deposit via OVO
    2. Pelayanan yang sangat memuaskan
    3. Mau withdraw berapa pun pasti dibayarkan
    4. Menyediakan 7 permainan dalam 1 user ID
    5. Banyak Promo menarik
    Nah, cukup banyak kan keuntungan yang anda dapat kan. Jadi tunggu apalagi, segera bergaubung bersama kami yuk :
    WHATSAPP : +6281333555662
    atau langsung di Livechat kami www(titik)donacopk(titik)com

    >>>DAFTAR<<<

    Judi Poker Terpercaya

    BalasHapus