Pengedar dan Pecandu Narkoba Harus Dihukum Mati\
JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Pengedar dan pecandu narkoba layak untuk mendapat hukuman mati. Pasalnya, perbuatan mereka membahayakan kelangsungan generasi muda serta nyawa orang lain. Hal itu bias dilihat dari aksi sopir Xenia maut yang menyebabkan sembilan orang tewas dan empat luka berat.
Pernyataan kerasa ini disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siradj dalam rilisnya yang diterima wartawan di Jakarta, Selasa (24/1). Sudah sangat jelas bahwa narkoba adalah sesuatu yang bisa merusak tatanan hidup bangsa dan negara. Kasus kecelakaan di Tugu Tani, Minggu (22/1) llau, merupakan bukti nyata akibat pengaruh dari perdaran dan penggunaan barang haram tersebut.
Menurut dia, dalam kitab suci agama, sudah sangat jelas menyebutkan bahwa pengguna narkoba sudah pada tahap kecanduan layak mendapatkan hukuman mati. Hukuman lain yang juga layak diberikan kepada pecandu narkoba adalah dipotong kedua tangan dan kakinya, serta dimusnahkan dari muka bumi. "Namun, Indonesia adalah negara hokum. Pemberian hukuman harus melalui proses hukum terlebih dahulu," jelasnya.
Dia mengungkapkan, kinerja jajaran penegak hokum dalam upaya memberantas peredaran narkoba harus lebih ditingkatkan lagi, karena kualitas yang kurang maksimal. Tapi yang lebih pentng adalah tindakan tegas bagi pengedar dan penggunan yang harus dihukum lebih keras. “Indonesia bis amencontoh dari Malaysia. Hukuman yang begitu berat membuat pengedar dan pengguna narkoba berpikir berjuta kali di sana, karena takut dihukum mati,” imbuhnya.
Dalam kesmepatan terpisah, Dirserse Narkoba Polda Metro Jaya, Kombes Pol. Nugroho Aji menyatakan bahwa sopir maut Apriyani Susanti dan ketiga rekannya telah mengakui menggunakan narkoba. Mereka mengaku menyesal menggunakan narkoba, karena akibat mengonsumsinya telah menewaskan sembilan orang dan melukai empat orang.
"Mereka menyesal kenapa mereka mengonsumsi. Kecewa terhadap diri sendiri ada, menyesal ada. Keterangan mereka baik. Sedangkan kondisi tersangka Apriyani dalam kondisi baik dan tidak mengalami masalah yang berarti. Kami sedang mengembangkan asal narkoba yang dikonsumsi mereka, tapi memang sebelumnya mereka berbelit-belit dan tak mau mengakui menggunakan narkoba,” jelasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, mobil Daihatsu Xenia warna hitam bernopol B 2479 XI yang dikemudikan Apriyani Susanti (29),menabrak 12 orang pejalan di kawasan Tugu Tani, Gambir, Jakarta Pusat, Minggu (22/1) pukul 11.10 WIB. Sembilan orang tewas, dan empat lainnya luka berat. Apriyani jerat dengan pasal berlapis, yakni pasal 127 UU Nomor 35/2009 tentang Narkoba jo pasal 310 ayat (4) jo pasal 283 jo pasal 288 UU Nomor 22/2009 tentang Lalu-Lintas.
Sedangkan tiga rekan Apriyani, yakni Arisendi (34), Denny Mulyana (30), dan Adistina Putri Grani (25) berstatus sebagai saksi dalam kasus kecelakaan itu. Namun, mereka ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus penggunaan narkoba. Mereka telah mengakui menggunakan narkoba dan minum minuman keras, sebelum peristiwa itu.(dbs/wmr/irw)
Pernyataan kerasa ini disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siradj dalam rilisnya yang diterima wartawan di Jakarta, Selasa (24/1). Sudah sangat jelas bahwa narkoba adalah sesuatu yang bisa merusak tatanan hidup bangsa dan negara. Kasus kecelakaan di Tugu Tani, Minggu (22/1) llau, merupakan bukti nyata akibat pengaruh dari perdaran dan penggunaan barang haram tersebut.
Menurut dia, dalam kitab suci agama, sudah sangat jelas menyebutkan bahwa pengguna narkoba sudah pada tahap kecanduan layak mendapatkan hukuman mati. Hukuman lain yang juga layak diberikan kepada pecandu narkoba adalah dipotong kedua tangan dan kakinya, serta dimusnahkan dari muka bumi. "Namun, Indonesia adalah negara hokum. Pemberian hukuman harus melalui proses hukum terlebih dahulu," jelasnya.
Dia mengungkapkan, kinerja jajaran penegak hokum dalam upaya memberantas peredaran narkoba harus lebih ditingkatkan lagi, karena kualitas yang kurang maksimal. Tapi yang lebih pentng adalah tindakan tegas bagi pengedar dan penggunan yang harus dihukum lebih keras. “Indonesia bis amencontoh dari Malaysia. Hukuman yang begitu berat membuat pengedar dan pengguna narkoba berpikir berjuta kali di sana, karena takut dihukum mati,” imbuhnya.
Dalam kesmepatan terpisah, Dirserse Narkoba Polda Metro Jaya, Kombes Pol. Nugroho Aji menyatakan bahwa sopir maut Apriyani Susanti dan ketiga rekannya telah mengakui menggunakan narkoba. Mereka mengaku menyesal menggunakan narkoba, karena akibat mengonsumsinya telah menewaskan sembilan orang dan melukai empat orang.
"Mereka menyesal kenapa mereka mengonsumsi. Kecewa terhadap diri sendiri ada, menyesal ada. Keterangan mereka baik. Sedangkan kondisi tersangka Apriyani dalam kondisi baik dan tidak mengalami masalah yang berarti. Kami sedang mengembangkan asal narkoba yang dikonsumsi mereka, tapi memang sebelumnya mereka berbelit-belit dan tak mau mengakui menggunakan narkoba,” jelasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, mobil Daihatsu Xenia warna hitam bernopol B 2479 XI yang dikemudikan Apriyani Susanti (29),menabrak 12 orang pejalan di kawasan Tugu Tani, Gambir, Jakarta Pusat, Minggu (22/1) pukul 11.10 WIB. Sembilan orang tewas, dan empat lainnya luka berat. Apriyani jerat dengan pasal berlapis, yakni pasal 127 UU Nomor 35/2009 tentang Narkoba jo pasal 310 ayat (4) jo pasal 283 jo pasal 288 UU Nomor 22/2009 tentang Lalu-Lintas.
Sedangkan tiga rekan Apriyani, yakni Arisendi (34), Denny Mulyana (30), dan Adistina Putri Grani (25) berstatus sebagai saksi dalam kasus kecelakaan itu. Namun, mereka ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus penggunaan narkoba. Mereka telah mengakui menggunakan narkoba dan minum minuman keras, sebelum peristiwa itu.(dbs/wmr/irw)
Penuturan HM Kamaluddin Lubis, SH –
ayah seorang putra korban penyalahgunaan narkoba
Bandar Harus Dihukum Mati,
Pemakai Harus Diselamatkan
Korban narkoba bukanlah penjahat, tetapi korban dari kejahatan orang lain.
Korban narkoba bukan aib keluarga, tetapi bencana nasional.
DIAKUI HM Kamaluddin Lubis, SH, banyak hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik sejak adanya musibah yang menimpa keluarganya. Usaha dan sikapnya saat ini, merupakan cermin dari sikap dan usaha yang dimiliki oleh putranya M. Baron Bahri Lubis (alm.) yang meninggalkan dirinya akibat jerat narkoba. Kamal, panggilan akrab Kamaluddin – menceritakan bahwa putra ketiganya sangat gigih dalam membantu teman-temannya yang mempunyai nasib seperti dirinya untuk sembuh dari jeratan narkoba. “Mungkin karena ia juga merasakannya,” ungkap Kamal.
Kamal bercerita, putranya selalu meminta kepada siapapun agar jangan pernah ada pasien penyalahguna narkoba yang ditolak untuk direhabilitasi. Karena sikap anaknya itu pula, yang kian mendorong Kamal untuk lebih peduli terhadap para korban narkoba. Ia pun jadi lebih memahami dan menguasai permasahan narkoba.
“Dia meminta agar jangan ada pasien yang ditolak untuk direhabilitasi walaupun orang tersebut kurang mampu. Mendorong saya untuk lebih banyak lagi membantu orang lain yang membutuhkan bantuan. Kemudian saya dapat berbagi pengalaman dan cerita dengan sesama keluarga yang mempunyai masalah narkoba. Dan ini membuat saya lebih banyak menguasai permasalahan narkoba. Hikmah lainnya saya sadar bahwa Tuhan lebih cepat mengambil anak saya karena Tuhan sayang sama dia dan ini membuat hidup saya lebih tenang. Dan kepedulian terhadap keluarga sendiri maupun keluarga besar kami pun jadi lebih tinggi.“ lirih pengacara asal Medan, Sumatera Utara ini menuturkan.
Awalnya terkejut
Mulanya, Kamal sangat terkejut ketika mengetahui Baron – begitu sapaan akrab putra ketiga dari empat anaknya - telah terperangkap dalam penyalahgunaan narkoba. Namun, lama-kelamaan Kamal dapat menerima kenyataan tersebut dengan lapang dada. Baginya, almarhum Baron adalah anak yang terbuka. Ia juga menilai, putranya memiliki sifat penggembira, dekat dengan keluarga, dan mudah bergaul tanpa membeda-bedakan miskin dan kaya.
Ditambahkan, Baron juga seorang anak yang aktif berorganisasi baik di lingkungan sekolah maupun luar sekolah. Menurut Kamal, almarhum anaknya sangat dekat dengan dirinya dibanding dengan ibunya. “Kami sering pergi berdua dan bercerita tentang segala hal. Dia juga sering curhat dengan saya,” kenang pria yang genap berusia 66 tahun ini.
Diungkapkan, almarhum Baron pertama kali memakai narkoba ketika kelas tiga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Akibat dari pergaulan pula, menurut Kamal, anaknya terjerumus dalam kebiasaan tidak sehat tersebut. Saat itu Baron mulai mencoba kebiasaan merokok. “Lama kelamaan, ganja dicobanya.” tutur Kamal.
Dirinya juga tidak setuju bila dikatakan bahwa penyebab sang anak bisa terjerumus dalam dunia narkoba dikarenakan kesibukannya yang menyebabkan kurang perhatian kepada anak-anak. “Saya memang sibuk, tapi ibunya tetap di rumah untuk melayani keluarga. Kebersamaan dan kasih sayang selalu ada dalam keluarga. Kami selalu bepergian bersama ketika hari libur. Saya rasa itu tidak menjadi masalah bagi keluarga saya.” tegasnya.
Iapun mengakui, pola pendidikan yang diterapkan dalam keluarga pun sebenarnya telah bisa untuk membentengi anak-anaknya dari hal-hal negatif. Dikatakan oleh Kamal, pendidikan yang ditempakan dalam keluarga adalah pendidikan yang bebas dan bertanggung jawab. Maksudnya, anak-anak diberi kebebasan dalam memilih segala hal, mulai dari pendidikan, cita-cita, teman-teman, dan kegiatan luar rumah. Namun, kata Kamal, semua yang dipilih harus dipertanggungjawabkan dengan benar. “Contohnya, saya harus dikenalkan dengan keluarga teman-temannya. Kemudian belajar dengan benar sesuai yang dicita-citakan,” ujarnya lagi.
Lakukan pendekatan
Setelah terkena narkoba, kata Kamal, sifat Baron memang sedikit berubah. Perbedaan fisik tidak ada, dan perbedaan psikis juga pada awalnya tidak tampak. Namun, lambat laun Baron jadi sering malas berkumpul dan bercerita dengan orang rumah serta mulai menjauhkan diri dari aktivitas keluarga. “Emosinya suka berubah-ubah. Suka marah-marah tanpa sebab, suka berbohong dan menjuali barang-barang pribadinya. Akhirnya barang-barang dalam rumah, ada juga yang dicuri dan dijualnya.” tutur Kamal.
Setelah mengetahui anaknya telah terjerat narkoba, Kamal tidak menyalahkan ataupun memarahinya. Namun, ia langsung melakukan pendekatan yang lebih dalam. Kesibukannya sedikit demi sedikit dikurangi, dan ia lebih sering meluangkan waktu untuk berbincang dan membicarakan masalah yang dihadapi sang anak.
Tidak sedikitpun perlakuan dirinya terhadap Baron berubah. Malah, ia lebih semakin dekat dengan Baron. Dalam pendekatannya, Kamal memposisikan diri sebagai seorang sahabat. Alasan utamanya agar lebih merasa dekat dan terbuka. “Sehingga dia merasa diperhatikan, disayangi, dan tidak diperlakukan sebagai orang yang bersalah.” jelas lulusan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) ini.
Usaha pemulihan Baron tidak dilakukan Kamal secara sendirian. Sikap isterinya, Hj. Retni Rengsih, SH., CN., diakuinya hampir sama dengan dirinya. Terlebih, sang istri tampak tenang dalam menghadapi musibah yang menimpa. Dengan cara bersama, masalah yang terjadi pun diselesaikan.
“Kami selalu berembuk untuk menyelesaikan permasalahan dan kami saling instropeksi diri mengapa anak bisa terjerumus menyalahgunakan narkoba. Pertentangan untuk saling menyalahkan satu sama lain juga diakui Kamal tidak terjadi sama sekali antara ia dan istri. Tidak ada yang saling menyalahkan. Kami saling instropeksi diri mengapa anak kami dapat terjerumus dalam menyalahgunakan narkoba,” papar pria yang kini mengabdi sebagai dosen di almamaternya ini.
Empat tempat rehabilitasi
Tidak hanya usaha pendekatan. Kamal juga melakukan upaya pengobatan lain bagi anaknya, termasuk memasukkannya ke panti rehabilitasi. Saat pertama kali menawarkan panti rehabilitasi, anaknya langsung menerima dan tidak menolak untuk berobat. “Dia tidak menolak untuk berobat. Malah dengan keinginannya sendiri Baron mau berobat ke panti rehabilitasi. Itu sangat membantu kami dalam proses pemulihannya.” tutur Kamal.
Rentetan cerita panjang pun keluar dari mulut Kamal, tentang berbagai lokasi rehabilitasi yang disambanginya. Tempat pertama yang didatangi adalah pondok pesantren asuhan Abah Anom di Suryalaya, Tasikmalaya. Di tempat ini Baron menjalani terapi selama enam bulan lamanya. Setelah itu, Kamal membawa sang putra ke Klinik Ketergantungan Obat “Poso” di Medan selama satu bulan. Baron juga sempat menjalani pengobatan hingga ke negeri tetangga Malaysia, yakni Pengasih selama satu tahun. Kemudian, terakhir kali Kamal membawa anaknya ke Sibolangit Centre yang juga menghabiskan waktu selama satu tahun.
Meski mengikuti berbagai usaha terapi dan rehabilitasi, almarhum Baron tetap menunaikan kewajiban pendidikannya. “Selama menjalani pengobatan, pendidikannya tetap berjalan. Sehingga ia masih memperoleh pengetahuan dan ilmu untuk masa depan.” papar Kamal.
Ketika melakukan usaha rehabilitasi bagi putranya, satu kenangan abadi yang selalu diingat Kamal adalah rasa setia kawan yang begitu besar yang dimiliki oleh Baron. Menurut Kamal, Baron seakan tidak bisa sama sekali melepaskan relasi dengan teman-temannya sesama pengguna narkoba. Karena hal inilah semakin lama putranya makin terjerat dengan berbagai jenis narkoba. “Mungkin karena rasa solidaritasnya yang tinggi.” simpul Kamal.
Lebih tergerak di bidang narkoba
Peristiwa yang menimpa dirinya diakui Kamal tidak mengubah pandangannya terhadap narkoba. Sebagai seorang yang bergerak di bidang hukum, sejak dulu dirinya telah tahu mengenai permasalahan narkoba, terlebih mengenai bahayanya. Diakui Kamal, sebelum anaknya terlibat narkoba, dirinya telah berbuat banyak untuk penanggulangan masalah narkoba. “Saya sudah banyak informasi tentang itu (narkoba. Red) dan ikut menyebarkan informasi bahaya narkoba kepada masyarakat.” ucapnya.
Namun, motivasi untuk berbuat lebih banyak lagi dalam bidang penanganan masalah narkoba kian terdorong setelah anaknya menjadi korban penyalahgunaan narkoba. Atas dorongan putranya pula, dirinya tergerak untuk mendirikan sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang P4GN (Pencegahan Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba) yang bernama Yayasan Gerakan Anti Narkoba dan sebuah tempat rehabilitasi bernama Sibolangit Centre.
Dengan semangat Kamal pun berpesan kepada para orang tua. Menurutnya, bagi orang tua yang mempunyai anak yang telah terjerumus narkoba, jangan pernah putus asa dalam proses pemulihan mereka. Sebab, bagi Kamal seorang anak yang telah terkena pengaruh narkoba harus diselamatkan dan berhak mendapatkan jati dirinya kembali dengan bantuan dan dukungan dari orang tua. Sebaliknya, penggalian informasi yang benar tentang narkoba dan gejala-gejalanya sejak dini, merupakan hal yang harus diketahui bagi orang tua yang anaknya belum menjadi korban narkoba.
Sebagai orang yang bergelut di bidang hukum, dirinya pun mengkritik para penegak hukum yang terjebak dalam pasal-pasal yang kering sehingga mereka menganggap bahwa korban narkoba adalah penjahat yang harus dihukum. Di masyarakat sendiri, tambah Kamal, masih banyak yang belum paham tentang permasalahan narkoba. Banyak yang memandang, korban narkoba merupakan aib bagi keluarga yang harus ditutup-tutupi. “Mereka penjahat, sampah masyarakat, dan pemakai narkoba hanyalah anak orang kaya.” ketus Kamal akan persepsi yang salah tersebut dengan sedikit kesal.
Bagi Kamal, permasalahan narkoba merupakan masalah yang harus didahulukan dan ditangani secara serius sesuai dengan hukum dan undang-undang narkoba yang berlaku di Indonesia. Kata Kamal, dirinya ingin mengubah pandangan masyarakat dan lembaga pengadilan bahwa sebenarnya pemakai narkoba itu bukanlah penjahat.
“Mereka korban kejahatan orang lain dan harus diselamatkan. Jadi terdapat perbedaan dan klarifikasi antara pemakai murni, pengedar dan bandar, sehingga vonis yang dijatuhkan sesuai dengan perbuatan mereka. Seorang bandar harus dihukum mati karena mereka adalah pembunuh tanpa berdarah, dan seorang pemakai harus diselamatkan karena merupakan korban dari kejahatan orang lain,” pesannya tegas menutup perbincangan. (IR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar